Musim libur sekolah, sudah pasti jalanan macet disana sini. Tak terkecuali jalan utama di kotaku tercinta, Jogjakarta. Sebagai kota wisata, Jogjakarta menjadi kota yang padat jikalau libur sekolah tiba. Banyak orang menggunakan kendaraan untuk mencapai tempat tujuan. Entah itu rumah saudara ataupun tempat-tempat wisata. Jika sudah macet, jalan alternatif menjadi sasaran utama. Nah, jalan menuju rumahku tak luput dari bidikan para pengguna jalan.
Aku tinggal di daerah Besi-Jangkang Widodomartani, Ngemplak, Sleman. Jalan di daerahku merupakan jalan alternatif menuju Prambanan. Di musim libur sekolah begini jalan tersebut banyak dilalui kendaraan, baik roda empat maupun roda dua. Sebab bila ditempuh dari arah Jalan Kaliurang, tak butuh waktu lama untuk sampai ke daerah Prambanan. Dimana terdapat tempat wisata yang cukup banyak diminati wisatawan. Candi Prambanan.
Namun apa yang terjadi selanjutnya? Ya, jalan tersebut menjadi semakin padat, laju kendaraan semakin cepat. Dan polusi udara pun meningkat. Begitulah kondisi jalan di daerahku sekarang. Sudah kehilangan keasrian bahkan kenyamanan. Hawa panas tak bisa dihentikan. Tak seperti dulu, beberapa tahun yang lalu. Masih diselimuti kesejukkan.
Sewaktu aku pertama kali menginjakkan kaki disini tahun 2010 masih merasakan hawa yang hanya sejuk, semilir oksigen yang dikeluarkan oleh para hijau daun di sepanjang jalan. Tak tercium aroma panas sedikitpun. Hanya bau dedaunan yang beterbangan melambai di tepi bahkan melampaui ruas jalan. Romantisnya hijau menjadi pemandangan khas pedesaan.
Namun sekarang semua kian mengikis. Lahanpun semakin menipis. Bangunan rumah, ruko, dan minimarket beramai didirikan. Suasana memang semakin tak karuan. Hiruk pikuk jalanan dan polusi kendaraan membuat suasana hijauku menjadi terabaikan.Â
Gunung Merapi kini hanya pasrah mengintip dari balik bangunan. Udara semakin panas terasa. Hawa karbondioksida pun meraja. Sebab hijau yang berkurang jumlahnya, tanah pun berganti menjadi bangunan tinggi. Lalu kemanakah permadani hijau pergi?
Apakah tempatku ini kan berubah menjadi kota mini? Ah bagaimana ini? Aku menepi disini untuk menghindari polusi. Tapi, mengapa polusi malah semakin mendekatiku kini? Manusia, kalian semakin pintar saja, seolah tak bisa melihat peluang, sedikit saja langsung dieksekusi tanpa melihat kondisi.
Jikalau permadani hijau terkikis, lahan mana yang kan produktif? Apakah beras harus kita impor dari luar? Oh tidak! Pertahankan permadani hijau yang masih terbentang. Jangan biarkan terkikis oleh perkembangan zaman.Â