Mohon tunggu...
Ummu el Hakim
Ummu el Hakim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang emak biasa

Penyuka alam dan rangkaian kata

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jalan Alternatif Jogja-Prambanan Semakin Padat Kendaraan, Permadani Hijau Terkikis Bangunan

16 Desember 2018   19:45 Diperbarui: 16 Desember 2018   19:51 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim libur sekolah, sudah pasti jalanan macet disana sini. Tak terkecuali jalan utama di kotaku tercinta, Jogjakarta. Sebagai kota wisata, Jogjakarta menjadi kota yang padat jikalau libur sekolah tiba. Banyak orang menggunakan kendaraan untuk mencapai tempat tujuan. Entah itu rumah saudara ataupun tempat-tempat wisata. Jika sudah macet, jalan alternatif menjadi sasaran utama. Nah, jalan menuju rumahku tak luput dari bidikan para pengguna jalan.

Aku tinggal di daerah Besi-Jangkang Widodomartani, Ngemplak, Sleman. Jalan di daerahku merupakan jalan alternatif menuju Prambanan. Di musim libur sekolah begini jalan tersebut banyak dilalui kendaraan, baik roda empat maupun roda dua. Sebab bila ditempuh dari arah Jalan Kaliurang, tak butuh waktu lama untuk sampai ke daerah Prambanan. Dimana terdapat tempat wisata yang cukup banyak diminati wisatawan. Candi Prambanan.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Tak heran kalau sekarang banyak pengguna jalan memilih melewati jalan di daerahku ini. Karena jalan ini sudah selesai diperbaiki, dan nyaman tuk dilalui. Untuk mengurai kemacetan kota, begitulah alasan pemerintah daerah memilih jalan tersebut sebagai jalan alternatif yang cukup efektif.

Namun apa yang terjadi selanjutnya? Ya, jalan tersebut menjadi semakin padat, laju kendaraan semakin cepat. Dan polusi udara pun meningkat. Begitulah kondisi jalan di daerahku sekarang. Sudah kehilangan keasrian bahkan kenyamanan. Hawa panas tak bisa dihentikan. Tak seperti dulu, beberapa tahun yang lalu. Masih diselimuti kesejukkan.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Ya, beberapa tahun lalu sepanjang jalan di daerahku ini masih dihiasi semak belukar, sawah, dan kebun tebu. Banyak lahan milik pabrik gula Madukismo terhampar disekitar rumahku. Bila belum tiba waktu panen, tanaman tebu terlihat rimbun menari diantara permadani hijau yang bernyanyi merdu. Bahkan Gunung Merapi terlihat damai diantara permadani yang membentang permai. Hijau, ya hanya hijau yang menjadi warna dominan area ini. Belum banyak didirikan bangunan. Jalanan hanya berhiaskan dedaunan.

Sewaktu aku pertama kali menginjakkan kaki disini tahun 2010 masih merasakan hawa yang hanya sejuk, semilir oksigen yang dikeluarkan oleh para hijau daun di sepanjang jalan. Tak tercium aroma panas sedikitpun. Hanya bau dedaunan yang beterbangan melambai di tepi bahkan melampaui ruas jalan. Romantisnya hijau menjadi pemandangan khas pedesaan.

Namun sekarang semua kian mengikis. Lahanpun semakin menipis. Bangunan rumah, ruko, dan minimarket beramai didirikan. Suasana memang semakin tak karuan. Hiruk pikuk jalanan dan polusi kendaraan membuat suasana hijauku menjadi terabaikan. 

Gunung Merapi kini hanya pasrah mengintip dari balik bangunan. Udara semakin panas terasa. Hawa karbondioksida pun meraja. Sebab hijau yang berkurang jumlahnya, tanah pun berganti menjadi bangunan tinggi. Lalu kemanakah permadani hijau pergi?

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Permadani hijau seolah kian menepi. Bersembunyi, lalu mengecil jumlahnya. Memprihatinkan sekali. Sudah semakin jarang kulihat nuansa hijau berbalut awan putih dan berpayung langit biru. Berapa lama kan bertahan, permadani hijau yang masih tersisa? Ataukah kan berubah menjadi warna warni bangunan megah bahkan gedung bertingkat di kiri kanan jalan? Ough, pastilah udara panas semakin menerjang.

Apakah tempatku ini kan berubah menjadi kota mini? Ah bagaimana ini? Aku menepi disini untuk menghindari polusi. Tapi, mengapa polusi malah semakin mendekatiku kini? Manusia, kalian semakin pintar saja, seolah tak bisa melihat peluang, sedikit saja langsung dieksekusi tanpa melihat kondisi.

Jikalau permadani hijau terkikis, lahan mana yang kan produktif? Apakah beras harus kita impor dari luar? Oh tidak! Pertahankan permadani hijau yang masih terbentang. Jangan biarkan terkikis oleh perkembangan zaman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun