Mohon tunggu...
Unggun Dwi Prasetyo
Unggun Dwi Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Wilayah pada Negara-Negara Suksesor Pasca Suksesi Negara Universal

28 Mei 2021   14:43 Diperbarui: 30 Mei 2021   09:46 2557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawat berduri yang ditempatkan  di jalanan Srinagar pada wilayah Kashmir yang dikuasai India. Sumber: usip.org

Dalam perjanjian internasional terdapat istilah suksesi negara. Suksesi negara sendiri merupakan peristiwa peralihan kedaulatan dari suatu negara ke negara lainnya yang menimbulkan beberapa akibat hukum termasuk terhadap perjanjian internasional. Suksesi negara digunakan untuk menyebut perubahan identitas negara yang terjadi karena hilang atau berubahanya kedaulatan wilayah negara tersebut yang disertai perolehan kedaulatan wilayah baru oleh negara lain. Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of State) berarti "penggantian atau pergantian negara". Namun istilah penggantian atau pergantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas persoalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state succession itu.

 Suksesi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu, suksesi universal dan suksesi parsial. Pada bentuk suksesi universal tidak ada lagi negara predesesor (yang digantikan) karena seluruh wilayahnya hilang dan sepenuhnya digantikan negara suksesor (penerus). Sedangkan pada bentuk suksesi parsial negara predesesor-nya masih eksis, tetapai sebagian dari wilayahnya memisahkan diri menjadi negara merdeka atau bergabung dengan negara lain.

Sehubungan dengan perubahan kedaulatan wilayah itu hingga kini hukum internasional belum berhasil menetapkan prinsip yang menetapkan sejauh mana hak dan kewajiban yang ada pada negara predesesor tetap masih berlaku baginya dan sejauh mana negara suksesor mendapatkan hak dan kewajiban negara lama tersebut. Namun praktik peradilan dan konvensi yang ada menunjukan kecenderungan untuk menetapkan beralihnya hak dan kewajiban internasional yang didasarkan pada pertimbangan keadilan, kenalaran, kepantasan atapun kepentingan masyarakat internasional. Termasuk terhadap peralihan wilayah bekas negara predesor kepada negara-negara suksesor. Peralihan hak dan kewajiban internasional yang didasarkan perjanjian internasional itu disebut suksesi sukarela. Tak ayal jika suksesi sukarela tersebut menyebabkan terjadinya konflik wilayah antar negara suksesor.

 Negara suksesor hanyalah reorganisasi dari masing-masing entitas sesuai dengan pengaturan yang baru. Yang menjadi permasalahannya adalah dalam praktiknya tidak terdapat konsistensi mengenai penerapan sejauh mana pembagian hak pengelolaan teritori wilayah negara suksesor yang satu dengan negara suksesor yang lain (suksesi universal) ataupun negara suksesor dengan negara predesesor (suksesi parsial) apabila terkait sengketa wilayah baik klaim secara historis ataupun klaim secara yuridis. Konflik wilayah ini juga akan menjadi "konflik abadi" antar negara suksesor jika negara predesesornya hilang (suksesi universal).

Sebagai contoh kasus konflik wilayah pasca suksesi universal negara terdapat pada sengketa  perbatasan  Kashmir  antara India dan Pakistan sejak kedua negara tersebut memproklamasikan kemerdekaannya dari British India. Konflik terjadi akibat wilayah tersebut secara tradisional dikuasai oleh Maharaja Hindu, akan tetapi mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam. Konflik wilayah juga diperparah oleh kelompok oposisi militan Kashmir yang menginginkan kemerdekaan. Sengketa   perbatasan   Kashmir   telah menempatkan  tantangan  yang  serius  bagi  analis  dan  juga  pembuat  kebijakan  sebab konflik  itu  kompleks  dan  heterogen. Sehingga konflik yang terjadi sejak 1947 masih terus terjadi hingga saat ini.

Selain konflik Kashmir, terdapat juga konflik wilayah di negara-negara suksesor pecahan Uni Soviet. Seperti konflik wilayah Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan yang secara de facto dikuasai oleh Republik Nagorno-Karabakh yang diproklamasikan sendiri, tapi secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Sebagian besar wilayah Nagorno-Karabakh diperintah secara mandiri di bawah Republik Nagorno-Karabakh atau sekarang dikenal sebagai Republik Artsakh yang mayoritas dihuni oleh etnis Armenia. Sedangkan orang Azerbaijan menganggap nenek moyangnya berasal dari Daghlyg Garabagh (pegunungan Karabakh). Karenanya, orang Azerbaijan selalu menganggap Karabakh adalah bagian dari negara mereka.

Federasi Rusia pada 1994 turun tangan. Lewat Protokol Bishek pada 5 Mei, disepakati gencatan senjata yang ditandangani oleh Armenia dan Azerbaijan dan mulai efektif per 12 Mei 1994. Kendati demikian, perang tak pernah benar-benar usai. Kedua negara masih memendam bara dalam sekam. Beberapa kali gencatan senjata pun dilanggar oleh kedua negara.

Hukum internasional sebenarnya mengatur tentang pembagian wilayah secara yuridis melalui Konvensi Wina tentang suksesi negara. Konvensi ini dimaksudkan sebagai kodifikasi dari hukum kebiasaan yang berlaku, namun tidak semua ketentuan konvensi ini merupakan perumusan ketentuan hukum yang berlaku. Konvensi ini juga hanya berlaku bagi perjanjian internasional tertulis. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai saat ini juga tidak bisa melakukan intervensi untuk menyelesaikan konflik wilayah yang terjadi karena dapat membawa dampak yang lebih buruk terhadap konflik negara yang bersangkutan.

Sejauh ini hukum internasional hanya mengakui kedaulatan wilayah teritori sebuah negara berdasar klaim yuridis dan tidak mengakui adanya klaim secara historis oleh suatu negara. Sehingga apabila terjadi sengeta saling klaim wilayah, negara bisa membawanya ke Mahkamah Internasional untuk dapat diputuskan. Selain itu, negara juga bisa menempuh jalan mediasi ataupun arbitrase internasional. Adapula cara lain yaitu melalui jalan referendum oleh masyarakat yang mendiami wilayah yang jadi sengketa tersebut.

Akan tetapi, hal-hal tersebut hanya akan terjadi apabila terjadi kesepakatan antar negara yang berkonflik untuk melakukannya dan bersedia untuk mendapati kemungkinan terburuk yaitu kehilangan wilayah tersebut. Tentunya negara yang berkonflik tersebut tidak akan semudah itu untuk siap kehilangan wilayah yang mereka klaim karena pastinya negara-negara tersebut punya kepentingan tersendiri di wilayah tersebut untuk memperoleh keuntungan negaranya masing-masing. Sehingga pada akhirnya, konflik wilayah tersebut hanya akan menjadi konflik abadi antar negara apabila tidak ada negara yang mau mengalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun