Ketika perhelatan Asian Games XVIII (ke-delapan belas) di Jakarta dan Palembang, Indonesia, dimulai, euforia untuk menyukseskan ajang pesta olahraga terbesar se-Asia ini memang luar biasa. Walau diawal-awal ada sedikit pesimis karena kurangnya berbagai sambutan kemeriahan terkait semarak Asian Games, khususnya di Jakarta, karena nuansa politis masih kental pasca Pilkada DKI Jakarta lalu.
Namun demikian, mata dunia terbelalak dari adanya kemeriahan dan kesuksesan besar opening ceremony pada waktu itu. Semua serba mewah, "Wah", dan menuai pujian dunia, tak hanya negara-negara Asia peserta Asian Games.
Di satu sisi, dengan ramainya masyarakat global selain atlet, official, juga supporter dari banyak negara yang sengaja datang ke Indonesia, maka Indonesia terbuka dengan segala kemungkinan yang juga buruk. Misalnya kejahatan. Apabila kejahatan kriminal seperti pencopetan penjambretan bahkan premanisme dan percaloan bisa diantisipasi oleh aparat terkait, maka ada juga kejahatan yang sulit dicegah. Yaitu prostitusi.
END CHILD PROSTITUTION, CHILD PORNOGRAPHY & TRAFFICKING OF CHILDREN FOR SEXUAL PURPOSES (ECPAT)Â Indonesia mengeluarkan press release, pasca kehebohan atlet bola basket Jepang yang "terciduk" belanja prostitusi di kawasan Blok M.Â
Dengan tajuk rilis pers : ASIAN GAMES "MEWASPADAI ANAK-ANAK YANG DIJADIKAN OBJEK SEKS KOMERSIAL" pada tanggal 21 Agustus 2018 lalu, ECPAT mengingatkan bahwa bukan hanya soal ini yang perlu diperhatikan. Sebab, menurut ECPAT, "Permintaan  seksual anak  semakin tinggi, alhasil tak jarang anak dijadikan korban untuk kepuasan seksual dan dikomersialisasikan."
ECPAT bukan hanya sok bicara, karena dari data perhelatan-perhelatan olahraga antar regional maupun global, selalu ada para predator anak yang ikut "berwisata". Contoh kasus eksploitasi seksual seperti yang terjadi di FIFA World Cup 2014 berlangsung, sejumlah anak perempuan yang berasal dari Favela da Paz, Brazil menjadi korban.
Mereka ditemukan sedang dibawa oleh pengedar narkoba dengan bus untuk dieksploitasi secara seksual yang salah satu di antaranya mengaku bahwa ia sudah beberapa bulan terakhir menjadi korban eksploitasi dari seorang yang bekerja di stadium dan mendapat penghasilan sekitar 360 dolar. Para korban tersebut diperlakukan seolah-olah seperti halnya barang yang dapat diperjualbelikan. Demikian tertulis di rilis pers ECPAT.
Mengapa tulisan ini penting? Apakah tidak terlalu mengada-ngada? Sebab, di Asian Games yang sekarang berlangsung, pada khususnya di JAKARTA, ada 17,000 siswa di 34 sekolah di Jakarta yang diliburkan. Meliburkan sekolah ini dengan alasan oleh pemerintah DKI Jakarta sebagai bentuk agar tidka terjadi kemacetan yang mengganggu perhelatan ini, dan juga anak-anak SD, SMP dan SMA ini tidak terganggu sekolahnya. Benarkah?
Mungkin saya tidak bisa menjawab, dan banyak sudut pandang dari tiap orang. Termasuk ECPAT yang merupakan organisasi nirlaba yang konsisten dalam hal perlindungan anak di tiap negara di dunia.Â
Jadi, tulisan ini dalam upaya menyegarkan kembali, bahwa, ada masukan-masukan yang diperlukan untuk menjaga anak dari eksploitasi seksual yang, setidaknya menurut ECPAT banyak terjadi. Â
Untuk itu, saya mengulang lagi, sebagaimana rilis ECPAT bahwa pertama, semua insan olah raga termasuk pemerintah, masyarakat, hotel dan biro perjalanan (yang menangani banyak wisatawan dan olahragawan dan official berkunjung) untuk memantau, berkontribusi dalam menciptakan ASIAN Games 2018 yang ramah anak termasuk mencegah terjadinya eksploitasi seksual anak.Â