Mohon tunggu...
Undix Doang
Undix Doang Mohon Tunggu... -

Menulis tidak bisa diajarkan, tapi bisa dipelajari.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Neraka di Firdaus Katulistiwa

19 Maret 2010   02:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:20 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belanda memperkenalkan citra Bali sebagai “Firdaus di Katulistiwa” pada awal abad ke-20. Para fotografer ikut membela citra itu dengan rajin memproduksi foto-foto indah bergaya postcard. Siluet nyiur, pura, atau pantai berlatarbelakang gradasi warna merah ke biru-gelap, mengukuhkan ide karangan Belanda, bahwa Bali adalah contoh hubungan harmoni alam dan manusia yang apolitis. Pada 1995 Jeffrey Robbinson menerbitkan penelitian yang menggemparkan mengenai sisi kelam “Firdaus di Katulistiwa”. Bertajuk The Dark Side of Paradise: political violence in Bali, Robbinson mengutarakan sosok Bali sebagai salah satu pulau di Nusantara yang paling sarat kekerasan sosial-politik yang membawa pertumpahan darah. Puncak kekerasan terjadi di fajar Orde Baru, ketika setidaknya lima persen penduduk Bali tewas pada periode 1965 - 1969 (taksiran lain menyarankan 30 persen populasi tewas). Sejarah mencatat kekerasan berdarah di Bali terjadi paling tidak sejak invasi pasukan Majapahit. Serangan dari Jawa mendesak suku Bali Aga ke pegunungan. Per 1343 Bali menjadi bagian Majapahit dan menjadi kawasan melek-huruf yang memungkinkan ada catatan tertulis mengenai kejadian-kejadian sejak periode itu. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh, kekuasaan tunggal di Bali terpecah menjadi beberapa kerajaan yang kerap bertempur satu-sama lain sampai serangan pertama Belanda pada 1846. Sampai pertengahan abad ke-19 Bali bebas dari imperialisme Belanda di Nusantara. Baru pada 1846 Hindia-Belanda melancarkan serangan militer untuk menyatukan Nusantara ke dalam satu kekuasaan politik dan ekonomi yang termasyhur sebagai Pax-Neerlandica. Invasi Belanda menyatukan kerajaan-kerajaan yang bermusuhan di Bali. Namun satu per satu kerajaan di Bali pula takluk lewat pertumpahan darah yang tak pernah terbayangkan. Orang Bali tidak saja heroik, tapi sukarela mati ketimbang jadi taklukan Belanda lewat puputan. Salah satu puputan yang termasyhur adalah Puputan Badung pada November 1906. Ada catatan mengenai serdadu Belanda yang memuji bahkan menangis menyaksikan raja dan para pengikutnya mati sukarela daripada dijajah. Pada 1908 Kerajaan Klungkung menjadi kerajaan terakhir di Bali yang masuk Hindia-Belanda. Atau dengan kata lain, Bali adalah kawasan terakhir di Nusantara yang paling akhir masuk Pax-Neerlandica (atau dijajah paling singkat oleh bangsa asing). Sementara menggunakan teknik adu-domba etnis dan agama untuk menguasai di Jawa, Belanda memanfaatkan sistem hirarki sosial kasta, untuk memeras di Bali. Semakin rendah strata sosial, semakin kejam pemerasan penjajah. Teknik ini berhasil menghindarkan Belanda dari perlawanan sebagaimana terjadi di Sumatera atau Jawa. Pada sisi lain, Bali pun menikmati perdamaian setelah pertumpahan darah berabad-abad. Citra Bali dipromosikan sebagai "Firdaus yang Hilang" dengan penduduk yang ramah dan apolitis. Industri wisata tumbuh. Para seniman Eropa pun ramai-ramai pindah ke pulau eksotik ini. Pada Februari 1942 Jepang mulai menduduki Bali sekejam di kawasanbekas Hindia-Belanda lainnya. Tapi ada yang tidak disadari oleh Jepang, yakni mereka membuka sekat sosial yang selama ini kukuh bertahan sampai kedatangan mereka. Ketika mulai terdesak, Jepang membuka latihan militer untuk warga lokal. Mereka membentuk milisi PETA dan HEIHO. Di sinilah tanpa disadari Jepang menjebol sekat sosial yang telah berumur ratusan tahun. Jepang menerima semua jenjang sosial sebagai milisi. Pangkat tidak ditentukan berdasarkan kedudukan sosial. Prajurit berpangkat tinggi namun berkasta rendah bisa dan boleh membentak bahkan menggampar prajurit berpangkat lebih rendah tetapi berkasta lebih tinggi. Disiplin militer ini lumrah tapi masih sulit diterima sistem sosial di Bali. Usai kekalahan Jepang pada 1945, Bali terpecah dalam menghadapi kelahiran Republik Indonesia. Sebagian pro-Belanda, sebagian pro-Republik. Pemihakan ini tidak tegas mengikuti jenjang sosial dan kerajaan masa silam, namun pada umumnya pelampiasan dendam sosial lama. Pihak yang dirugikan Belanda biasanya pro-Republik, dan sebaliknya. Situasi itu memungkinkan Belanda meringkus pemangku kepentingan RI di Bali pada 11 Maret 1946, kurang dua pekan setelah pendaratan NICA di Sanur. Konferensi Malino Juli 1946 menempatkan Bali sebagai negara federasi bentukan Belanda, Negara Indonesia Timur. Kendati demikian pihak pro-Republik tetap melanjutkan perlawanan bersenjata. Salah satu perlawanan menghasilkan Puputan Margarana pada 20 November 1946. Tarik-ulur kekuasaan di Bali menemukan bentuk baru setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada Desember 1949. Bentuk baru itu berupa kemunculan partai politik. Ketika partai-partai terbentuk, mereka lebih mewakili kepentingan golongan masing-masing, alih-alih bangsa. Peta kasar politik kira-kira sbb. Partai-partai sosialis kiri menghimpun simpati massa dari kasta rendah, sebaliknya kaum Nasionalis. Praktis kekuatan politik dan massa terbesar di Bali adalah PKI, PSI, dan PNI. Mereka cukup gaduh berpolitik sampai-sampai baru reda apabila Presiden Sukarno turun-tangan. Maklumlah, Sukarno berdarah campuran Bali-Jawa dan sangat dihormati di Bali. PKI sangat garang melancarkan isu-isu anti-kelas. Isu-isu komunis, sangat kena di hati kalangan yang selama puluhan tahun ditindas penguasa. Pada masa-masa inilah strata sosial rendah berani menuntut persamaan hak seperti LandReform, yang tentu sangat menyinggung strata lebih tinggi. Kekerasan sporadis sering terjadi dan ketegangan memuncak sampai kudeta 1965 pecah di Jakarta. Tanda-tanda bakal terjadi kekerasan hebat merebak lewat tahyul yang menyusul letusan G. Agung. Harmoni alam sudah terganggu dan harus ada korban untuk mengembalikan ketentraman. Masalahnya adalah, siapa yang dijadikan korban? Karena kekuatan massa dan politik merata, Bali bergeming menanti hasil kudeta pada 1 Oktober 1965 di Jakarta selama tiga bulan. Ketegangan akhirnya pecah menjadi banjir darah setelah pasukan dari Jawa—RPKAD dan divisi Brawijaya mendarat di Bali pada 7 Desember 1965. Kedatangan pasukan dari Jawa yang anti-PKI, seolah salvo pembuka pertumpahan darah. PKI menjadi bulan-bulanan utama. Tapi korban tidak saja dari PKI. Tokoh PSI dan PNI tidak luput dari maut pada masa-masa ini. Dendam sosial, boleh dikata meletus tanpa pandang asal-usul partai. Kekalutan dan histeria massa jauh melampaui pembunuhan di Jawa. Anggota PNI yang tidak disukai kelompok tertentu, bisa saja diseret dan dibunuh bersama tersangka PKI. Kolonel Sarwo Eddhie Wibowo membandingkan kondisi di Bali dan Jawa. Ia bilang, bahwa di Jawa RPKAD harus mendorong masyarakat untuk menyerang PKI. Di Bali, RPKAD justru harus mencegah agar pembunuhan tidak berlangsung lebih jauh. Pembunuhan di Bali bisa sedemikian kejam dan luas, melulu bukan karena paksaan. Pada beberapa kasus, calon korban bersedia bekerjasama dengan para algojo. Mereka ke luar dengan tenang dari rumah menuju ladang pembantaian tanpa perlawanan. Mereka menganggap kematian adalah keniscayaan untuk mengembalikan harmoni antara alam dan manusia, antara sekala dan niskala, yang telah rusak. Di tangan Orde Baru, kondisi Bali relatif tenang setelah setidaknya 80.000 jiwa penduduk Bali lenyap. Segera banyak pembaca bertanya: Bagaimana bisa masyarakat yang terlihat sedemikian ramah dan bercitarasa tinggi, mendadak bisa menjadi sedemikian keji? Jawabannya ada di penelitian lain, bukan di buku ini. Robinson hanya memaparkan kronologi proses perubahan dari “Firdaus yang Hilang” menjadi “Neraka di Bumi” (how). Sebagai kronologi, kiranya pemaparan dalam buku sudah memadai.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun