Mohon tunggu...
Nurhasanah Munir
Nurhasanah Munir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna

I'm a dreamer and wisdom seeker// Ailurophile// write to contemplate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Munculnya Para Pendakwah Instan

16 Juni 2017   11:39 Diperbarui: 18 Juni 2017   01:35 2452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Jika pada zaman dahulu khazanah Islam banyak dipenuhi oleh beragam karya dari para sahabat, khalifah, dan para tabi'in, maka 'greget' dan semangat belajar terus dikobarkan pada zaman khalifah Utsman bin 'Affan yang menginstruksikan pembukuan al-Quran al-Karim, kemudian sayyiduna 'Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhah, yang mana beliau juga menuliskan karyanya sendiri berujudul Nahju al- Balaghah yang berisi prosa. 

Dilanjutkan kembali dengan menunjukkan kepada sahabatnya Abu Aswad Al-Duwali untuk menulis tentang ilmu turunan bahasa Arab seperti ilmu nahwu dan sharaf. Begitu juga dengan para sahabat-sahabat lain yang terbiasa menuliskan riwayat-riwayat hadits pada zaman itu. Sehingga karya-karya tersebut bisa sangat bermanfaat bagi dunia literasi Islam pada khususnya.

Telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam tentang ilmu-ilmu dari berbagai macam bidang, seperti: ushul fiqh, fiqh, sastra, sains, filsafat, tasawuf, logika, kalam, matematika, seni dan lain-lain. Yang karya-karyanya masih banyak digunakan dakam kajian-kajian baik yang ilmiah maupun non-ilmiah. Mereka lebih banyak berpikir dan menulis untuk mewujudkan suatu visi dan misi dalam menjalani kehidupan di duni yang fana. Mereka juga lebih memilih dan bertindak daripada berbicara, dengan begitu karya-arya yang mereka wariskan sangatlah berharga hingga tidak ternilai. 

Hal tersebut dibuktikan dengan kitab-kitab mereka yang banyak digunakan di seluruh penjuru dunia, baik muslim ataupun non-muslim. Sebut saja Ibn Sina yang mewariskan karya di bidang kedokteran dengan judul kitabnya al-Syifa', karya ini bahkan diakui oleh dunia. Imam al-Ghazali dengan kitab fenomenal berjudul Ihya' Ulmuddin, kitab tersebut pun masih dipelajari di pesantren-pesantren dan majlis atau kampus Islam.

Sejalan dengan keduanya, adalah Jalaluddin Rumi yang menulis ribuan karya prosa terkumpul sebagai Matsnawi,sebuah literatur yang mengekspresikan pengalaman religiusnya sebagai seorang hamba yang mencintai syair, sehingga dalam setiap bait tulisannya terdapat perasaan rindu untuk menemukan Tuhan dalam pengembaraan yang panjang. 

Untuk itu pula, lebih dari 700 tahun sejak wafatnya, karya-karya Rumi masih menjadi karya populer di dunia barat hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pesan-pesannya yang bersifat universal untuk manusia yang hidup dalam keragaman dan perbedaan. Tidak mengherankan jika Rumi menjadi ikon sebagai Sufi yang pluralis.

Dari masa ke masa, tradisi literasi semacam itu terus diwariskan dan menjadi sebuah ciri khas bagi dunia Islam. Meskipun tidak ada label sebagai ulama, tetap saja mereka adalah ulama yang mampu membuktikan tentang kapasitasnya sebagai seorang agamawan yang ilmuwan. Proses perenungan yang panjang terhadap keagungan Allah swt dan seluruh ciptaan-Nya yang berserak di alam semesta ini menjadikan mereka ingin mengabarkan kepada kita semua sebagai kaum awam bahwa Allah menciptakan segala sesuatu untuk umat manusia dengan rahmatNya yang Maha Luas.

Namun pada kenyataannya di era keterbukaan informasi serta teknologi canggih, seakan intensitas untuk menghasilkan karya-karya pemikiran ulama semakin menurun, hal ini disertai pula dengan kemunculan para ustadz atau ustadzah yang tampil "memukau" di televisi Indonesia. Saya sesekali memperhatikan juga dan berdecak dalam hati, ternyata sosok ustadz atau ustadzah yang tampil di layar kaca mampu menarik perhatian sebagian besar masyarakat muslim Indonesia, dan ditambah lagi mereka menjadi ikon fashion dalam waktu yang bersamaan.

Ada banyak alasan mengapa masyarakat muslim Indonesia menyukai tipologi ustadz atau ustadzah yang mereka saksikan dari beberapa program televisi nasional maupun swasta, di antaranya: karena banyak guyon (Jawa: bercanda), tema yang mudah dan tidak kategori "berat", ustadz atau ustadzah yang berpenampilan menarik, yang ustadz dengan kopiah atau peci dengan bentuk yang bervariasi ditambah dengan sorban sebagai pelengkap penampilan, yang ustadzah juga menggunakan dandanan yang berlebihan, seperti tata rias pada wajah berwarna mencolok, atau dengan pakaian dengan warna senada dari jilbab sampai aksesoris seperti jam tangan.

Fenomena di atas merupakan sebuah realita sosial yang tidak bisa ditolak eksistensinya, secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan pasar, dalam hal ini disebut penonton atau pemirsa, sponsor dan juga pemilik modal  (CEO televisi), selama masyarakat masih menyukai dan menjadi tontonan wajib atau selama ratingprogram tersebut tetap tinggi, maka dipastikan akan selalu ada penampilan-penampilan dari ustadz atau ustadzah entertainment. Saya memahami semacam ada upaya komodifikasi dalam menyajikan tayangan-tayangan yang seperti demikian. 

Artinya sebuah tausiyah yang biasa dilakukan di majlis-majlis ta'lim yang bertempat di masjid kemudian mengalami metamorfosis karena mengikuti tren, namun lebih jauh yang terlihat jelas adalah yang disampaikan berupa tema-tema yang selalu berangkat dari persoalan hukum Islam atau fiqh. Dengan begitu, masyarakat hanya akan terbiasa dengan konteks halal dan haram saja, tidak lebih dari itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun