Mohon tunggu...
UMU NISARISTIANA
UMU NISARISTIANA Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

umunisaristiana26@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tiga Pelajaran Hidup dari Mengendarai Sepeda Motor

29 September 2022   15:20 Diperbarui: 29 September 2022   15:20 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terhitung sudah dua setengah tahun, saya belajar mengendarai sepeda motor. Keterampilan yang sudah saya idam-idamkan sedari Sekolah Menengah Atas, tetapi baru diizinkan orang tua dan suami di usia 25 tahun. 

Cukup telat, jika dibandingkan dengan teman-teman sepantaran. Namun, orang tua khususnya bapak saya memiliki alasan cukup logis untuk menunda anaknya mengendarai motor yaitu alasan kematangan emosi. 

Menurut bapak saya yang sudah puluhan tahun mengendarai kendaraan (read:motor & mobil), kematangan emosi menjadi poin yang krusial. Yah, seperti layaknya anak ABG alasan seperti itu saya nilai sebagai alasan yang mengada-ada.

Hal yang saya kira mengada-ada, ternyata benar adanya. Dua setengah tahun saya belajar mengendarai motor. Ada banyak pelajaran yang dapat saya aplikasikan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan pengelolaan diri, seperti:

1. Komunikasi adalah hal yang sangat penting

Ada banyak kecelakaan di jalan raya, disebabkan oleh penggunaan lampu sein yang tidak tepat dan kurang bijaksana. Sekadar persoalan lampu sein saja, panjang urusannya.

Nyatanya, menyalakan lampu sein adalah cara komunikasi antar pengendara di jalan raya. Ibaratnya kita sedang memberitahu pengendara lain bawah "saya mau pergi ke sebelah kanan/kiri" "saya mau menepi" "saya mau mendahului" bahkan kita dapat memberi tahu situasi penumpang di dalam mobil dengan menyalakan kedua lampu sein (kanan dan kiri) yang artinya sedang dalam kondisi darurat. 

Adanya komunikasi ini mempermudah pengendara lain untuk mengenali peran dan posisinya di jalan raya sehingga mereka mampu memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

Refleksi ini membawa saya pada kesimpulan bahwa komunikasi yang tepat dan bijaksana dalam kehidupan sosial mampu menghindarkan kita dari berbagai masalah. 

Sejak menyadari hal ini, saya lebih memilih untuk mengutarakan apa yang saya pikirkan dan rasakan ketimbang berharap dalam diam agar seseorang mampu mengetahui kehendak saya. 

Awalnya memang sulit, alasannya malu dan gengsi. Tapi, lambat laun saya merasakan manfaat dari aktif berkomunikasi; pertama, perasaan selalu lega dan pikiran tanpa beban. Kedua, mudah mendapatkan alternatif solusi disetiap persoalan. Ketiga, tidak terlalu banyak memiliki masalah hidup.

2. Selamat dengan bertata krama

Kebiasaan remeh masa kecil untuk tengok kanan kiri saat menyebrang jalan atau berada di persimpangan nyatanya tidak bertahan lama dalam diri seseorang. Terbukti, banyak dijumpai kasus main nyelonong saja saat di jalan raya. 

Saya pikir, tengok kanan kiri saat kita akan masuk ke jalur kendaraan baru dapat diartikan sebagai "permintaan izin" kepada pengendara yang terlebih dahulu sedang menggunakan jalur tersebut. 

Dengan tengok kanan kiri atau berhenti sejenak di persimpangan jalan membuat pengendara lain sungkan untuk berlaku semena-semena (read: menambah kecepatan) sehingga tidak memunculkan banyak perselisihan.

Refleksi ini membawa saya kepada kesimpulan bahwa mempelajari tata krama di usia hampir kepala tiga masih dan akan terus relevan. Sebab, memiliki tata krama yang baik mampu mendatangkan hal-hal yang baik, terlebih yang bersifat non materi (rasa hormat dan reputasi nama baik)

3. Memahami kepentingan orang lain

Belum tiga detik lampu hijau, bunyi klakson sudah terdengar dimana-mana. Kendaraan roda empat/enam sedang parkir kita main terabas saja. Kasus seperti ini seringkali memicu emosi dari pengendara lain bahkan kernet atau juru parkir. 

Apa sulitnya kita meluangkan waktu sepersekian detik atau menit untuk mempersilahkan orang lain menyelesaikan kepentingannya tanpa menimbulkan masalah?

Refleksi ini membawa saya kepada renungan bahwa di kesempatan-kesempatan tertentu menjadi egois bukan keputusan yang tepat. Ada banyak permasalahan yang dapat dihindari saat kita mau bersedia mundur sedikit atau berhenti sebentar untuk memberi ruang kepada orang lain menyelesaikan kepentingannya.

Pengalaman belajar mengendarai sepeda motor bukan hanya sekedar memperolah kartu SIM, tapi juga memperoleh petuah hidup baru yang mampu mendewasakan diri dalam aspek sosio-emosi. Saya berharap, tulisan ini dapat dimaknai dengan sungguh-sungguh oleh teman pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun