Mohon tunggu...
Healthy

Rokok, Pemiskinan yang Merisaukan

23 November 2017   14:59 Diperbarui: 23 November 2017   15:07 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Rokok, Pemiskinan yang Merisaukan

Oleh: Septie Wulandary, S.ST*)

Rokok sepertinya masih menjadi topik hangat yang tidak bosan diperdebatkan. Berbagai polemik banyak ditimbulkan dari lintingan tembakau yang konon mengandung 4000 lebih bahan kimia di dalamnya. Ratusan di antaranya zat beracun dan penyebab kanker, bahkan menyebabkan kematian. Pro dan kontra terhadap rokok telah bergulir sejak lama. Termasuk wacana kontroversial, yaitu memasukkan pasal kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan sebagai bagian dari budaya nasional yang harus dilestarikan. Jelas hal ini menimbulkan pro dan kontra, meskipun RUU ini akhirnya dihapuskan DPR RI.

Terlepas dari begitu banyak penyakit yang diakibatkan oleh rokok, harus diakui bahwa rokok menjadi penyumbang bea cukai tertinggi negeri ini. Terbukti bahwa penerimaan negara dari cukai rokok adalah yang tertinggi, yakni sebesar 139,5 triliun rupiah di tahun 2015. Pendapatan dari cukai rokok ini jauh lebih besar ketimbang dari perusahaan tambang emas terbesar di dunia yang beroperasi di tanah Papua, PT Freeport, yang hanya menyumbang 8 triliun rupiah untuk negara setiap tahunnya.

Tingginya penerimaan negara dari cukai rokok ini tidak lepas dari tingginya tingkat konsumsi rokok penduduk. Indonesia termasuk negara dengan konsumsi rokok tertinggi di dunia. Pada tahun 2014, konsumsi rokok dunia mencapai 5,8 triliun batang, 240 miliar batang (4,14 persen) di antaranya dikonsumsi oleh perokok Indonesia. Angka konsumsi rokok ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar ke empat dunia setelah China, Rusia, dan Amerika Serikat.

Pada bulan Mei yang lalu, bersumber dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi, tercatat bahwa ada sebanyak 729 ribu penduduk Jambi berumur 5 tahun ke atas yang menghisap rokok, atau sekitar 23 persen dari total penduduk. Jika kita lihat statistik wilayahnya, maka tingkat konsumsi rokok penduduk pedesaan lebih tinggi dari penduduk perkotaan. Masyarakat pedesaan yang menghisap rokok sebesar 24 persen, sedangkan masyarakat perkotaan sebesar 21 persen. Secara rata-rata, jumlah batang rokok yang dihisap perminggu oleh para perokok sekitar 113 batang, atau 16 batang per hari. Sulit untuk dipungkiri, angka ini tentunya relatif masih sangat tinggi.

Tingginya konsumsi rokok masyarakat Jambi ini tentu saja amat merisaukan. Pasalnya, ongkos yang harus dibayar akibat dampak buruk yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok sangat mahal. Di Indonesia, kebiasaan merokok telah membunuh 225 ribu orang setiap tahun. Sementara di Jambi, lebih dari 2,7 juta penduduk Jambi---yang bukan perokok---tiap hari terpapar asap rokok, sehingga berisiko menderita berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok. Resiko penyakit yang bisa diidap perokok pasif ini sama mengerikannya dengan perokok aktif, yaitu kanker, penyakit paru-paru, jantung, dan sebagainya.

Di lain sisi, porsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga perokok juga cukup dominan sehingga mengurangi porsi pengeluaran untuk kebutuhan yang esensial dalam pengembangan derajat kapabilitas masyarakat Jambi, seperti pendidikan, kesehatan, dan asupan protein. Tahun lalu misalnya, pengeluaran untuk produk tembakau---termasuk rokok--- penduduk Jambi mencapai 8 persen dari total pengeluaran rumah tangga, lebih tinggi dari pengeluaran untuk konsumsi ikan (4,6 persen), telur dan susu (2,9 persen), dan daging (2,2 persen).

Persoalan semakin pelik karena prevalensi merokok pada masyarakat miskin ternyata juga sangat tinggi. Hal itu tercermin dari tingginya pengeluaran penduduk miskin yang dialokasikan untuk membeli rokok. Hasil perhitungan BPS memperlihatkan, sumbangan pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.

Konsumsi rokok kretek filter di kalangan masyarakat miskin Jambi yang masih tinggi membuat mereka tak bisa lepas dari garis kemiskinan. BPS mencatat, pada Maret 2017, kontribusi pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan di Jambi mencapai 13,5 persen di perkotaan dan 11,9 persen di pedesaan, jauh lebih tinggi dibanding kontribusi pengeluaran untuk komoditas makanan yang merupakan sumber protein dan vitamin, misalnya daging, telur, gula, dan susu.

Kontribusi masyarakat kota terhadap daging ayam ras sebesar 6,1 persen, sedangkan di desa hanya yang hanya 3,9 persen. Untuk telur, hanya 3,9 persen di kota dan dipastikan lebih rendah lagi di desa, yaitu 3,7 persen. Itu artinya, masyarakat miskin Jambi lebih banyak menghabiskan uang untuk rokok ketimbang urusan asupan nutrisi dan gizi. Begitupun dibandingkan pengeluaran untuk biaya pendidikan, yaitu hanya sebesar 2 persen di perkotaan dan 1 persen di pedesaaan. Alih-alih ingin meningkatkan taraf hidup dengan menggenjot sektor pendidikan dan kesehatannya, justru yang terjadi adalah pemiskinan masyarakat miskin karena merokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun