Sepotong kertas tergeletak tak berdaya dalam lorong meja kelas. Untaian kata beriringan menunggu untuk dibaca. Sepucuk surat bernada manis mengawali hari Dilan yang mendung dan gerimis.
Dia bilang hari ini cerah, tapi bagi laki-laki 18 tahun itu mendung. Mendung adalah gambaran untuknya yang baru saja sampai tapi sudah di tegur guru BP yang menghadangnya didepan gerbang karena bajunya di keluarkan.
Dilan, begitulah biasa dia di sapa. Pemuda tampan dengan kulit putih bersih dan lesung pipi menghiasi wajahnya. Hanya visual saja kelebihan nya, dia bukan ketua OSIS yang cerdas atau ketua kelas yang tegas, dia Hanya Dilan. Satu-satunya prestasi yang ia miliki hanya 'Tampan' .
Setiap pagi ada saja surat cinta yang ia genggam, entah secara langsung seseorang memberikan nya, atau meletakkannya di laci mejanya. Dilan terlalu populer, bahkan sebelum ia masuk sekolah itu.
Dan ini adalah Dania, cewek setengah cowok yang paling ditakutin satu kelas IPS 2 sejak kelas 1. Cewek dengan segudang prestasi silat dan akademis sejak duduk di bangku SD itu benar-benar bertolak belakang dengan Dilan.
Hobi Dania cuma satu, yaitu menulis. Meski Dania juara nasional Pencak Silat tapi itu bukan hobi nya, itu adalah tuntutan keluarga nya.Â
"Bro, lu satu kelas kan sama Dania?" tanya Rahmat sambil merangkul Dilan yang sedang berjalan menuju lapangan basket.
"Dia itu kasar! Nggak usah tanya lagi soal dia, lu bukan tipenya,"
"Kok lu nyolot," ucap Rahmat kesal.
"Gue masih kesel, abis di tonjok Dania pagi tadi"Â
Dilan mulai memainkan bola di tangannya, teriakan demi teriakan tertuju padanya, meskipun tidak satupun bola masuk namun pusat perhatian tetap padanya.Â