Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wayang Potehi adalah Kita

19 Februari 2022   12:41 Diperbarui: 19 Februari 2022   12:43 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Lhaiyo, kita kan mau nonton wayang potehi, Kinan!" jelas Mas Suryo yang berjalan di sampingku. Entah kenapa malah teman Mas Narto yang selalu di dekatku. Tapi kelihatannya dia baik dan sopan. Matanya yang sipit selalu terlihat ikut tersenyum setiap kali berbicara. Dia cukup tampan, dan yang penting sepertinya nggak terlihat suka iseng seperti temannya yang tiba-tiba berbalik dan nyengir di depanku.

Wayang potehi? Wayang apaan sih? Aku baru dengar. Setahuku wayang itu ya cuma wayang kulit, wayang golek dan wayang wong. Aku biasa nonton semalam suntuk di kampung kalau ada pesta pernikahan. Atau mendengarkan siaran radio di RRI.

Sebenarnya aku nggak terlalu paham dengan jalan ceritanya. Tapi setiap kali ketiga pemuda yang berdiri di sampingku bertepuk tangan dan tertawa, aku ikut aja. Kan nggak enak, tho, udah diajak jalan-jalan nggak menghargai. 

Sejak saat itu, aku dan Mas Suryo menjadi akrab. Ada saja alasan yang membuatnya bisa mengajak aku dan Mas Narto untuk pergi. Kadang hanya sekedar joging keliling alun-alun lalu menikmati serabi, tempe kemul atau megono di sekitar alun-alun. Sebagai anak paling kecil di tempat kost yang tentu tidak memiliki pacar seperti teman lain, aku nurut aja.

Mbah Sam, nenek Mas Narto, ibu kostku bahkan selalu menyuruhku untuk mengikuti ajakan cucunya jalan-jalan setiap kali sendirian di tempat kost. Mungkin sebagai kompensasi karena aku biasa dia suruh-suruh dari memasukkan benang ke jarum, membelikan sarapan pagi sampai memijat. Nasib anak kost, hiks.

Tahun 1994 aku lulus SMA dan pindah ke Jakarta untuk kuliah. Hubungan persahabatan kami, aku, Mas Narto, dan Mas Suryo tetap berlanjut dengan saling berkirim surat. Sampai akhirnya tinggal aku dan Mas Suryo yang masih saling berkirim kabar lewat email. 

Saat itu, di bulan Februari tahun 2000 di tahun baru Imlek, dia menyatakan cintanya lewat email kepadaku. 

Aku jatuh cinta padamu sejak tertawa bersamamu di Kelenteng Hok Hoo Bio

Salam kangen,

Mas Suryo

Sejak saat itu aku tak pernah membuka email yang selalu dia kirimkan. Aku tak bisa menyangkal perasaanku. Sepertinya aku juga mencintainya. Susah payah aku berusaha untuk membunuh rasa rindu yang selalu datang, menghapus semua kenangan manis bersamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun