Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Separuh Hatiku Tertinggal di Gunung Lanang

5 Desember 2021   08:05 Diperbarui: 5 Desember 2021   08:23 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Lanang, Sumber: Desa Wisata Mergolangu Wonosobo Jateng

Saat kekasihku menghilang tanpa kabar, aku merasa dunia berhenti berputar dan hidupku pun berakhir. Ternyata membunuh seseorang itu amatlah mudah. Tak perlu menggunakan peluru, pedang, santet, atau sate sianida.

"Cukup tinggalin dia pas lagi sayang-sayangnya!" Itu yang dia katakan padaku dulu. Saat itu kami berdua hanya tertawa, sedangkan sekarang aku menangis mengingatnya. Aku harus secepatnya melupakan - meninggalkan Jakarta - atau aku akan mati perlahan-lahan dibunuh kenangan.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman di kaki Gunung Lanang. Pulang adalah sebuah kata yang selalu membuatku merasa utuh kembali sebagai manusia. Mudik ke tempat dari mana cinta bermula, adalah sebuah keputusan yang tepat untuk mengobati luka batinku.

***

Menikmati sunset dan sunrise dari puncak Gunung Lanang yang terletak di Desa Mergolangu, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Wonosobo, tentu akan menjadi obat yang mujarab bagiku. Sri, temanku sejak SD yang rumahnya ada di Desa Mergolangu bahkan sudah menyediakan tenda dan perlengkapan untuk berkemah di sana. Sungguh sebuah rencana yang sempurna.

Perjalanan naik ojek trail melewati jalan raya yang bopeng di sana-sini, berlenggak-lenggok mengikuti jalanan terjal yang berkelok seperti ular membuat tulang belulangku remuk redam. Aku segera merebahkan diri di tikar, begitu tenda selesai dipasang.

"Ayo kita foto-foto. Tuh pemandangan bagus banget lho, sayang kalau dianggurin! Kamu nggak mau pamerin ke sosmed? Biasanya kamu paling gercep kalau pamer hahaha." Sri menarik tanganku keluar tenda.

Setelah puas berswafoto, aku memutuskan untuk duduk di gardu pandang, semacam dermaga yang dibangun di tebing. Bedanya dengan dermaga di pinggir laut atau sungai, di sini kita tidak akan berlayar dengan perahu, tapi dengan imajinasi tanpa tepi.

Langit di tempat bola raksasa itu akan bersemayam bermandikan warna tembaga. Kabut mulai menebal. Desa Gumelar dan Waduk Wadaslintang di bawah sana perlahan menghilang dalam ketiadaan, seperti masuk ke dalam portal dunia gaib. Aku berdiri takjub, tersedot dalam dunia mimpi.

"Sandengkala lho, buruan masuk tenda, salat magrib. Jangan kelamaan mandangin sunset-nya, ntar kesambet!" Teriakan Sri yang super cerewet mengagetkanku. Saat aku menoleh ke arah gadis hitam manis yang melambai-lambaikan tangannya itu, aku melihat seorang pemuda duduk di sebelah kanan. Entah sejak kapan dia ada di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun