Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kue Lebaran untuk Nenek Bermata Perak

16 Mei 2021   19:24 Diperbarui: 16 Mei 2021   19:33 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nenek Bermata Perak (Sumber gambar: https://www.idntimes.com/)

***

Malam takbiran dua tahun yang lalu. Keadaan ekonomi kami belum juga membaik. Sekalipun mudik tidak dilarang, untuk ke sekian kalinya, kami tak bisa mudik. Terbayang saat kecil di kampung dulu. Dua meja panjang dari kayu mahoni, dan meja kecil sofa selalu penuh dengan toples berisi kue lebaran. 

Kami cukup merasa bahagia sekalipun hanya memiliki tiga toples kue lebaran. Tiba-tiba teringat akan nasib nenek sebatang kara yang tinggal di sebelah kiri mushola itu. Bergegas, kami mengunjunginya dengan membawa satu toples kue lebaran. Percayalah, berbagi akan membuat kebahagiaanmu naik berlipat ganda.

Sampai di rumah tua bertingkat dua yang mulai lapuk itu kami disambut dengan pelukan penuh haru Nenek. Mata peraknya semakin mengabut dan meluruhkan bening di pipinya yang keriput. Kami duduk melingkar di sebuah meja makan tua. Aroma apek rumah yang hampir tak pernah terkena sinar matahari itu menguar dari seluruh sudut. 

Sekalipun tinggal sendiri, kuakui rumah ini cukup bersih. Nenek mengaku sebagai orang yang cukup perfeksionis dan tak betah jika ada yang berantakan. Tentu sangat berbeda denganku. Mungkin ini yang menyebabkan anak terakhirnya memutuskan untuk pindah mengikuti kemauan suaminya dan membiarkan ibunya mati pelan-pelan terbunuh sepi.

"Anak-anak marah karena Nenek menolak menjual rumah ini. Mereka itu maunya rumah ini dijual, terus uangnya dibagi lima. Nenek disuruh tinggal bergiliran di rumah mereka. Ya Nenek nggak mau. Biar saja Nenek sendirian, sebatang kara, asal di rumah sendiri. Toh, Nenek dapat ganti cucu-cucu yang baik seperti kalian." Ia tertegun. Dada tipisnya kembang kempis dan suaranya gemetar. 

"Itu ada karpet sama bed cover di lantai. Anak Nenek ada yang habis nengok ya? Udah pulang?" Tak sengaja mataku menatap alas tidur yang terlihat belum lama ditiduri di samping ranjang Nenek.

Nenek terlihat masygul. Matanya kembali berkabut. Dia pun menceritakan kalau anak laki-lakinya yang nomor empat menginap seminggu dan baru tadi pagi pulang ke rumahnya. 

"Dia minta ini ke Nenek, padahal ini buat makan sehari-hari," jelasnya sambil mengelus leher. "Sekarang tinggal ini satu-satunya yang bisa dijual buat makan." Nenek menunjukkan sebuah cincin kuno yang sudah kehitaman di jarinya yang berbonggol-bonggol. Kalungnya yang berharga diminta sang anak yang sedang menganggur.

"Waktu kena PHK, anakku dapat pesangon seratus juta. Itu Nenek cuma dengar kabarnya saja. Setelah habis, malah ke sini."

Dadaku terasa menciut, sesak. Mataku pun mulai mengabur tertutup bening yang ingin melesak keluar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun