" Alhamdulillah suami support penuh. Suamiku tuh sabar banget. Aku beruntung punya suami kayak dia. Sudah pinter masak, jagain anak-anak. Gak pernah protes. Mungkin dia yang gak beruntung karena dapet istri macam aku, hahaha ...." Aku ikut tertawa mendengar gurauan-nya.
" Enggaklah ... kamu kan juga pinter, cantik, tinggi , baik hati, peduli sama orang lain ... "
" Ya Allah ... Makin besar kepala-ku nanti," lagi-lagi Dayana tertawa.
" Biar helm-nya nggak muat nanti!"Â
" Lagian ... kinerja kita pol-polan sampai mentok, toh gaji kita sama dengan yang kerjanya biasa aja. Buat apa dibela-belain kayak gitu. Udahlah biasa aja, woles kata anak sekarang," aku terus ngomporin Dayana.Â
" Memang iya, sih. Dulu di tempat kerjaku yang lama. Pembagian upah itu proporsional, adil gitu menurutku. Sesuai dengan kinerja. Dan transparan. Semua tau bagiannya. Dan lagi, gak pernah telat."
" Ya pastilah, kalau pegawai sudah sejahtera, dia gak mungkin neko-neko. Buat apa? Kebutuhan dia terpenuhi. Otomatis dia bekerja juga semangat." Aku semakin berapi-api. Ih ... ini curhat atau melampiaskan kekesalan? Setelah ngobrol bareng Dayana, aku sejenak melupakan rasa bosanku.
" Kadang pengen punya usaha sampingan ... ayo Kasih, kita bikin usaha!" Matanya berbinar.Â
" Seharusnya memang kita punya usaha, jadi gak hanya mengandalkan gaji saja." Aku juga sama buntu-nya kalau bicara tentang usaha sampingan.
" Kamu kan jago bikin gambar desain ruangan. Kenapa gak ditekuni? Jago komputer juga, buka jasa pengetikan aja ... " usulku penuh semangat.
" Bikin gambar apa? Apalagi jasa pengetikan. Jam segini aja tugasku belum kelar. Kapan waktunya. Pasti butuh pikiran dan tenaga pula. Ogah ah ... " Dayana menolak mentah-mentah usulku.