Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Istana Biru itu Berwujud Taman Bacaan Al-Ghazi

10 Mei 2016   20:06 Diperbarui: 10 Mei 2016   20:17 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski dulu tinggal di pusat kota, saya terhitung yang tidak terlalu suka jalan-jalan ke bioskop. Lebih memilih dua minggu sekali ke toko buku dan seminggu sekali ke perpustakaan daerah. Hanya beberapa film saja yang tonton. Itupun diajak teman, bukan inisiatif sendiri. Apalagi setelah menikah dan punya anak. Selain karena jarak bioskop yang jauh juga repot membawa bayi.

Duo bocil memang selalu saya ajak kemanapun aktifitas saya. Suami tidak mengizinkan saya bekerja tapi mendukung semua kegiatan saya. Hingga tak jarang saya keluar rumah seharian. Ikut seminar, organisasi, kajian agama sampai rajin mendatangi berbagai festival dan expo. Tapi sikap saya berbeda dengan KMGP The Movie. Bukan hanya menonton di hari dan jam pertama tayang, saya juga mempromosikan filmya lewat medsos, menjual bukunya hingga ikut menjadi panitia temu penulisnya, Helvy Tiana Rosa di Palembang.

Mush’ab (3,10 th.) dan Raihan (10 bln.) akhirnya akan punya pengalaman pertama ikut menonton ke bioskop.  Kami tiba beberapa menit lagi sebelum film diputar. Dari mulai pintu masuk cinema sudah dipenuhi berbagai rombongan. Santri pesantren, siswa-siswi SMA, murid SMP, anak kuliahan, pasangan suami-istri, keluarga kecil seperti kami, temenan kerja hingga yang sengaja reunian. Tidak hanya karena contens filmnya tapi juga perjuangan segenap kru film yang membuat saya angkat jempol.    

***

“Bang…,” saya menggeser posisi duduk.

“Iya,” jawab suami sambil terus menatap layar handphone. Karena yang ingin saya katakan cukup serius, saya tidak langsung menjawab. Menunggu sampai ia menyelesaikan bacaannya.

“Mau ngomong apa?” tanyanya lagi. Hp sudah di-cas.

“Umi mau buat gerakan literasi di sini.”

“Mi, di sini desa. Gak banyak yang sekolah. Tradisi menulis di sini masih sulit.”

“Justru itu, kita yang memulai. Gak harus langsung nulis, Bang. Kita kenalkan dulu dengan buku. Caranya bisa lewat bermain, mendongeng, membacakan kisah, pokoknnya apa saja. Menulisnya bisa nanti setelah mereka akrab dengan buku.

Umi punya cita-cita mendirikan semacam perpustakaan untuk anak-anak dan remaja di sini. Mereka bebas membaca, bermain, bercerita, menggambar, menulis, berdiskusi dan apapun yang ingin mereka lakukan. Buku bisa membuka wawasan mereka. Mereka akan punya banyak mimpi, banyak cita-cita.” Saya berhenti sejenak. Memandang lekat laki-laki di hadapan saya. Memastikan bahwa saya akan berjuang untuk mewujudkan keinginan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun