Mohon tunggu...
Umi Bariroh
Umi Bariroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sedang belajar menjadi penulis yang baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agama dan Kepercayaan Masyarakat Nusantara

24 Oktober 2021   20:12 Diperbarui: 24 Oktober 2021   20:17 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Nusantara, telah berkembang banyak agama dan kepercayaan. Tapi hanya ada 6 Agama resmi yang diakui oleh pemerintah, agama resmi ini adalah Islam, Hindu, Budha, Kristen, Konghucu, dan protestan. Agama-agama ini merupakan agama pendatang di Indonesia yang kemudian dijadikan agama resmi oleh pemerintah. Lalu, bagaimana agama Indonesia sebelum agama pendatang ini muncul ? Agama Nusantara atau agama lokal sebelumnya lebih kepada kepercayaan animistik, atau yang biasa disebut animisme atau dinamisme. Mereka percaya pada hal hal yang dianggap memiliki kekuatan, mereka mengadakan ritual untuk pemujaan. Seperti memberikan sesajen pada Dewi Sri yang dianggap Dewi kesuburan, memberikan sesajen pada laut untuk memudahkan mereka saat berlayar, atau mengitari gunung untuk mengharapkan kelancaran tani mereka. Inilah agama atau kepercayaan masyarakat Nusantara sebelum agama resmi datang.

Agama resmi atau agama pendatang masuk ke Nusantara dengan standar agama dunia. Mereka menguasai politik sehingga sering dianggap politik agama. Hindu Budha datang, mereka mulai menanamkan kepercayaan mereka, walau ada beberapa agama lokal yang masih mempertahankan agamanya. Mereka mulai menyebarkan agamanya sehingga terjadi sinkretisme, yaitu perpaduan antara budaya lokal dengan budaya pendatang, menjadikan perpaduan yang unik yang bisa dianggap menjadi ciri khas agama Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan Hindu Budha, Islam datang juga dengan pengaruh dan usaha para ulama untuk mengislamkan masyarakat. Islam mulai diterima oleh masyarakat, sehingga mereka meninggalkan kepercayaan agama lokal mereka atau agama Hindu-Budha. Islam berkembang dengan pesat juga usaha para wali untuk islamisasi. Seperti halnya Hindu Budha, terjadi perpaduan antara budaya lokal dengan Islam. Hingga akhirnya agama dunia mulai berdatangan dan agama lokal atau agama Nusantara mulai dilupakan.

Agama pendatang biasa menguasai politik, mereka mulai meresmikan agama pendatang dan memberi mereka fasilitas yang berbeda dengan agama Nusantara, bisa dianggap diskriminasi terhadap agama Nusantara, padahal masih ada komunitas agama Nusantara yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka yang tidak masuk ke agama resmi tidak diakui, mereka tidak mendapatkan kartu tanda penduduk Indonesia. Bisa dikatakan mereka memaksa seluruh masyarakat Indonesia untuk memeluk agama resmi, dapat memilih salah satu 6 agama. Sebagai penduduk Indonesia, tidak memiliki KTP sangat tidak menguntungkan, mereka tidak akan bisa mendapatkan fasilitas yang disediakan pemerintah, seperti KK, SIM, bantuan sosial, dll. Agama lokal didiskriminasi oleh negaranya sendiri, padahal mereka adalah penduduk asli Indonesia. Bertahun tahun mereka memperjuangkan haknya, tapi masih belum ada usaha serius dari pemerintah. Hingga sekarang agama agama lokal yang tersebar kebanyakan masuk ke pedalaman, tidak memiliki akses fasilitas umum, karna termasuk daerah terpencil. Di Jawa sendiri contoh agama lokal yang sampai sekarang masih eksis adalah Sunda wiwitan dan Buhun.

Sekitar 400 ribu penduduk Indonesia tercatat tidak memilih diantara enam agama resmi. Mereka adalah penganut agama lokal. Sebelumnya ada beberapa agama agama yang dianut sebelum agama impor datang, yaitu permalin dan aliran mulajadi nabolon di Sumatera Utara, Tonas walian di Minahasa, pahkampetan di Sulawesi Utara, kaharingan di Kalimantan, aluk todolo di tanah Toraja, naurus di seram Maluku, wetu telu di Lombok, agama Bali, kejawen, purwoduksino dan Budi luhur di Jawa, djama Sunda dan Buhun di Jawa, dan Sunda wiwitan di Banten.

Indonesia mengikuti tren agama Dunia. Sistem agama yang diakui juga harus berdasarkan standar agama dunia. Bagaimana standar agama dunia ? Bagi mereka agama itu harus memiliki kepercayaan, memiliki tempat peribadatan, memiliki pengikut, memiliki nabi, dan memiliki kitab suci. Standar agama dunia ini dianut Indonesia dan agama yang tidak memiliki ciri-ciri diatas tidak akan diakui. Ciri ciri tersebut menuju pada monoteisme. Sementara Indonesia bisa dikatakan dinamisme, karna memiliki banyak kepercayaan yang berbeda-beda. Agama lokal punya kepercayaan, banyak dewa yang dipuja, begitu juga pengikut dan tempat peribadatan. Akan tetapi, agama lokal tidak memiliki nabi dan kitab suci, mereka tidak bisa memaksakan untuk memiliki nabi dan kitab suci. Hingga akhirnya mereka dibuang dan didiskriminasi karna tidak dapat memenuhi standar agama dunia, padahal mereka sudah ada sejak Indonesia belum menjadi Indonesia. Dimata Indonesia dan dunia, agama lokal masih primitif dan harus dimodernkan.

Pada saat politik agama berhasil menginfiltrasi negara, agama dan kepercayaan dimasukkan dalam Pasal 29 UUD 1945. Agama leluhur, yang penganutnya dari kalangan abangan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang masih memiliki kepercayaan pada leluhur, mulai disingkirkan. Penganutnya menamai agamanya sebagai "kebatinan" sekalipun legitimasi status hukumnya merujuk pada kepercayaan sebagaimana ditegaskan pada pasal di atas. Atas nama politik agama, kepercayaan diinterpretasi sebagai bagian dari agama, tetapi kelompok kebatinan memahaminya berbeda dari agama, atau paling tidak eksistensinya juga diakui, dijamin untuk dilindungi, dan berhak dilayani, tanpa harus tunduk pada agama.

Setelah peristiwa 30 Septermber 1965, kebatinan di-komunis-kan, tetapi segera setelah rezim Orde Baru berkuasa, kebatinan mendapatkan pengakuan dan perlindungan, bahkan setara dengan agama, sampai pada tahun 1978. Pada periode ini, kebatinan berubah nama menjadi kepercayaan, menggunakan istilah yang sama persis yang ada pada Pasal 29 UUD 1945 untuk menegaskan status konstitusionalnya. Pada tahun 1978, melalui TAP MPR IV/1978 tentang GBHN, kepercayaan sebagai nama untuk agama leluhur di-budaya-kan dan efektif hingga akhir rezim Orde Baru, bahkan setelahnya. Pada periode ini, politik agama berhasil menjadikan lima agama sebagai agama resmi. Penganut agama leluhur, termasuk masyarakat adat, yang agamanya telah di-budaya-kan, diwajibkan pindah agama ke agama resmi. Periode ini adalah puncak politik agama. Penganut agama resmi berhasil menundukkan,  penganut agama leluhur. Hingga saat ini, beberapa akademisi masih mengangkat topik tentang agama lokal atau agama leluhur untuk diakui oleh negara, karna tercatat ratusan ribuan warga masih belum didatakan dan masih belum tercatat memeluk agama resmi. Akademisi ini ingin setiap warga memiliki haknya sebagai warga Indonesia.

Agama lokal yang masih eksis diantaranya adalah Sunda wiwitan. Salah satu kelompok adatnya adalah suku Badui, terutama suku Badui pedalaman. Suku Badui berada di pedalaman provinsi Lebak kabupaten Banten. Mereka menutup diri dari dunia luar, mengisolasi diri di pedalaman Banten. Suku Badui dalam menjaga kental nuansa adatnya, mereka tidak boleh ternoda oleh tekhnologi atau modernisasi. Mereka tidak boleh menggunakan sandal, alat transportasi, handphone, bahkan sekolah pun tidak ada, mereka tidak menerima orang luar masuk. Baju harus tenunan langsung, menggunakan baju hitam putih atau biru. Mereka percaya pada roh atau animisme. Suku Badui terbagi dua, dalam dan luar. Badui dalam seperti deskripsi di atas sementara suku Badui luar mulai menerima tekhnologi seperti handphone dan motor dan ada beberapa yang pindah ke muslim, tapi tetap mempertahankan adat Badui nya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun