Aku langsung memasuki kamar, dan menaruh tasku di kasur. Belum sempat aku membuka baju sekolahku, tiba-tiba terdengar suara olokan dari luar.
Sontak seketika itu aku langsung menguping dan mengintip mencoba mendengar kan pembicaraan mereka di balik pintu kamarku.
Aku sempat mendengarkan kata-kata yang jelas kala itu sodara berkata "Sini bagikan hartamu, semua ini belum ada bukti nyata tanpa saksi yang SAH".Â
Pada saat itu juga aku mengalami depresi, belum selesai hasil tes sekolah, tiba-tiba Allah datangkan ujian keluarga yang menimpa harta.
Rasanya baru kemarin kakek meninggal dunia, dan seluruh harta kakek berikan untuk anaknya sesuai dengan pembagian, tentu sudah terbagi dengan rata, tapi begitu serakah mereka mengambil harta pemberian kakek.
Wajar saja, bapak langsung memberikan harta yang kakek berikan kepada mereka, bukan berarti karena tidak berani melawannya, tapi karena demi kebaikan keluarga. Bapak pun lebih paham agama dan berpendidikan ketimbang 5 orang sodaranya.
Karena bapak adalah anak terakhir yang beruntung, menjadi kesayangan orang tua, sekaligus mendapatkan bagian harta yang banyak, mungkin ini yang membuat rasa cemburu datang kepada kelima sodara itu.
Padahal yang mengurusi kakek dari mulai sakit-sakitan adalah bapak, bapak yang mencuci pakaiannya, bapak pula yang merawatnya, hingga montang manting sana sini hanya demi merawat orangtuanya agar sehat.
Tapi apa! balasan dari kelima sodaranya, begitu kejam tanpa mempunyai perasaan, mengambil hak milik orang lain dengan paksaan. Di tambah lagi ada kabar bahwa aku tidak diterima di sekolah negeri ternama.
Selang waktu beberapa bulan atas kejadian itu, kehidupan keluargaku hancur berkeping-keping bagaikan butiran debu, karena ujian maling (pencurian).
Semua harta, benda bahkan uang simpanan, semua melayang, dan aku tidak memiliki rumah untuk tinggal. Aku hanya memiliki rumah dari hasil belas kasihan orang, yang meminta orang tuaku untuk menempatinya.