Mohon tunggu...
Umbu Tagela
Umbu Tagela Mohon Tunggu... Guru - guru

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kejahatan Bukan Monopoli Modern

3 Oktober 2022   21:15 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:16 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Soerjono Soekamto (1986) mengatakan terjadinya kejahatan mungkin saja dilakukan secara monodisipliner, multidisipliner atau interdisipliner. Masing-masing konsep ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. diatasi. Ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa kejahatan terjadi lantaran ketidak serasian individu, khususnya mengenai hubungan timbal Yang jelas kejahatan disebabkan oleh pelbagai faktor yang saling bertautan dan harus ditelaah secara menyeluruh bila hendak dicegah atau balik antara faktor ekspresif dengan kekuatan normatif. 

Faktor ekspresif meliputi faktor psikologis dan biologis dan kekuatan normatif meliputi faktor keluarga, agama dan sosiokultural. Derajad keserasian antara faktor-faktor menentukan apakah dalam memenuhi kebutuhan dasarnya  manusia akan mematuhi norma dan prilaku teratur yang ada atau akan menyimpang sehingga menimbulkan gangguan pada ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia.

Kekuatan ekspresif yang meliputi aspek psikologis dan aspek biologis kesemuanya disebut sebagai faktor biopsikogenik dan sosiogenik seperti: (1) Faktor biopsikogenik menyangkut mesomorfik fisik, yakni keadaan fisik yang dikaitkan dengan sifat atau tempareman tertentu yang menyebabkan prilaku jahat, misalnya gangguan psikologis, seperti gangguan syaraf, ego yang defektif. Ekses dari kebutuhan alkoholisme, narkoba dan sebagainya. (2) Faktor sosiogenik meliputi asosiasi diferensial seperti anggota gang, asosiasi pola prilaku kriminal, frustrasi karena perlakuan masa lalu yang pahit, tekanan karena rasa takut, ancaman-ancaman, kemiskinan dan sebagainya.

Kekuatan normatif mencakup faktor keluarga, atau kehidupan kekeluargaan, agama dan faktor sosiokultural  antara lain; 

(1) Faktor lingkungan yang fundamental yang meliputi taraf kepatuhan terhadap norma agama yang relatif rendah, gangguan dalam kehidupan keluarga, disorganisasi sosial seperti pudarnya nilai dan norma yang mengakibatkan warga masyarakat kehilangan pedoman untuk berprilaku secara pantas,

(2). Faktor pendukung dalam lingkungan yang terdiri dari kesempatan atau peluang, moralitas sosial yang relatif rendah, konflik kebudayaan atau konflik antara bagian-bagian dari suatu kebudayaan. Kejahatan itu terjadi karena tidak adanya keserasian antara faktor ekspresif dengan kekuatan normatif. Walau demikian, masalah kejahatan tentu akan dikembalikan pada faktor manusia, masyarakat dan kebudayaan masyarakat. Yang pasti masalah kejahatan adalah bersifat kasuistik.

Di jaman reformasi ini, mestinya tidak lagi terjadi sikap arogan dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Belum hilang dari ingatan kita tentang kasus Tomi Suharto,  Akbar Tanjung, BLBI dan masih banyak kasus lain yang dilansir media masa., Kasus-kasus ini sudah sempat mengusik pikiran masyarakat luas. Orang dengan sadar dan sengaja membuat penyimpangan aturan yang ada, apalagi kalau orang itu memiliki pengaruh, memiliki uang, memegang kekuasaan atau sedang berkuasa. Dalam kondisi seperti ini mestinya hukum dengan simbol Dewi Themisnya yang tidak pandang bulu (kompromi) harus menunjukkan supremasinya sesuai dengan substansi utilitasnya.

JAHAT,APA BOLEH BUAT

Berkompromi dengan kejahatan dan yang salah, bukan monopoli manusia moderen. Hal ini sudah ada sejak awal sejarah manusia termasuk sejarah orang kristen.  Misalnya, ketika berbicara soal perceraian, Tuhan Yesus mengatakan, Musa mengijinkan perceraian karena” ketegaran hatimu” (Matius 19:8). Musa tahu bahwa itu jahat, tapi apa boleh buat. Lalu apakah dengan begitu Tuhan Yesus menolak perceraian? Inilah jawab Tuhan Yesus” Tetapi aku berkata kepadamu: Barang siapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”(Matius 18:9). Jelas Tuhan Yesus menolak perceraian, kecuali….perceraian adalah di dalam pengecualian itu. Jahat, tapi apa boleh buat.

Dalam I Korintus 7:1 Rasul Paulus menulis “ adalah baik bagi laki-laki kalau ia kawin” selanjutnya dalam ayat 2 dikatakan “tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri”…kemudian dalam ayat 6 dikatakan ” Hal itu kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran”. Masalah juga muncul, ketika orang kristen pertama harus berhadapan dengan perbudakan, peperangan, penjajahan, penindasan. Mereka tahu semua itu jahat, tapi mereka tahu juga bahwa tidak ada gunanya mengutuk itu semua. Mereka lebih memikirkan bagaimana hidup sebagai orang kristen yang baik ditengah-tengah kehidupan yang tidak kristiani. Mereka berusaha sabar ditengah-tengah ketidaksabaran sosial.

ka Darmaputra (1991) mengatakan para pemikir kristen, awalnya sangat perfeksionis dan menolak kompromi. Hal Itu disebabkan karena kesadaran eskatologis bahwa Tuhan Yesus akan segera datang kembali. Namun   setelah disadari bahwa Tuhan  Yesus kemudian belum datang, para pemikir kristen mulai belajar untuk menerima kompromi seperti yang dilakukan Musa. Persoalan yang kemudian muncul untuk orang kristen adalah bagaimana seharusnya bersikap pada jaman globalisasi ini. Apakah melakukan kompromi dengan kejahatan? Mungkin kita perlu merenungkan kata-kata Ellul dalam bukunya Violence: Reflections From a Christian Perspective, begini” prinsip tanpa kekerasan tidak akan merupakan pendekatan yang efektif untuk melawan kejahatan, kekerasan seringkali hanya dapat dipatahkan oleh kekerasan juga”. Jahat, tapi apaboleh buat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun