Mohon tunggu...
Umar Faruq
Umar Faruq Mohon Tunggu... Penulis - Hukum Tata Negara
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik Hukum Yang Apiratif akan melahirkan Hukum yang responsif sedangkan politik Hukum yang konservatif akan melahahirkan hukum yang tirani dan Ortodok

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Uji Formal Ditolak oleh Mahkamah Konstitusi

6 Juni 2021   02:00 Diperbarui: 7 Juni 2021   01:54 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah konstitusi hadir sebagai peradilan untuk menjawab kebutuhan akan keadilan dalam melindungi hak Konstitusional warga negara yang telah di jamin dalam Konstitusi, Konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam negara yang menganut sebagai Supremasi of Law, menempatkan perlindungan Konstitusi sebagai hukum tertinggi, dalam rangka perlindungan Konstitusi maka hadir lah Mahkamah Konstitusi untuk memastikan bahwa konstitusi tetap terjaga kemurniannya.

Dalam hal ini Konstitusi Indonesia mengenal UUD 1945 sebagai hukum tertinggi yang bentuknya masih bersifat Abstrak yang memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan Undang-undang,  hal ini pun tidak dapat pisahkan dalam negara Hukum setiap tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah atau dalam menjalankan Undang-undang harus memiliki sandaran yang jelas agar tidak melanggar hak konstitusional warga negara. Maka sesuai dengan perintah Undang-Undang Dasar 1945 harus adanya pembuat Undang-undang  dalam hal Ini DPR dan Presiden yang memiliki kewenangan pembentukan Undang-undang. Sebagai landasan agar pembuatan Undang-undang tidak asal-asalan dalam pembuatannya kemudian lahirlah Undang-undang 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar agar Undang-undang yang dibuat tetap bernafas Konstitusi dan sesuai dengan keinginan rakyat sebagai Implementasi dari kedaulatan rakyat.

DPR dan bersama Bersama Presiden dalam membuat Undang-undang sangat berpotensi melanggar Konstitusional warga negara, baik secara Materil atau subtansi yang bertentangan dengan Undang-undang  Dasar sebagai Konstitusi, atau pun secara Formil dalam proses pembuatannya yang juga merupakan perintah dari Konstitusi dan Undang-undang 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembuatan Undang-undang.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai Check and Balance terhadap pembuatan Undang-undang baik itu secara Formil mau materi sebagai dalam  peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan Mahkamah, Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang berbunyi:
 
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi  yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014.
 
Mengutip pendapat Menurut Bachtiar dalam bukunya Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU Terhadap UUD , pengujian konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan secara materiel (materiele toetsing) atau secara formal (formele toetsing). Pengujian secara materiel adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formal adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan sebagaimana ketentuan tersebut telah terdapat dalam Undang-undang 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Adanya Pengujian Formil di Mahkamah Konstitusi kian semakin jauh dapat di terima oleh Mahkamah Konstitusi setelah pengujian Formal terkait Undang-undang nomer 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di tolak karena karena tidak beralasan menurut Hukum. Uji Formal yang sudah yang ditolak merupakan  kemunduran dari Negara  Hukum yang seharusnya partisipatif dalam Membuat Undang-undang harus mengakomodir aspirasi masyarakat, Indonesia sebagai negara penegasan aspirasi masyarakat terakomodir dalam Undang-undang 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undang Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan d.
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Dari serangkaian tahap Belum bisa terpenuhi sekakan menandakan bahwa pembentukan Undang-undang di buat secara asal asalan dalam pembuatan nya.

Jika setiap pengujian Formal di Mahkamah selalu di abaikan dalam pengujian tidak menutup kemungkinan Undang-undang yang di buat setelah nya akan asal membuat tanpa melibatkan masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun