Mohon tunggu...
Ulfi Fardiatun Nasichah
Ulfi Fardiatun Nasichah Mohon Tunggu... -

Suka Menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Finlandia dan Indonesia Berbanding Terbalik

13 Oktober 2015   11:51 Diperbarui: 13 Oktober 2015   11:51 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memiliki sekitar 220 juta jiwa yang hampir lima puluh persen adalah anak pelajar. Tentu hal ini bukan jumlaah yang sedikit jika dibandingkan dengan Finlandia, Jepang dan Korea. Dalam hal ini, bukan akan membandingkan mana yang baik dan buruk, hanya saja untuk menambah wawasan jika Indonesia bukanlah negara yang menggunakan "Fun Learning" tetapi "Important Learning". Ya belajar memang wajb, dan itu suatu kewajiban. Dalam tuntutannya, belajar yang seru itulah yang diharapkan semua pelajar bahkan mahasiswa sekalipun. 

Indonesia adalah negara yang mempunyai pelajar yang sangat berpotensi, tentunya jika ada tindakan lebih jauh bagaimana membuat itu terealisai. Dan ini tidak lead dari Ujian dan tes yang sering negara lakukan.  Bandingkan jika 12 tahun belajar dan setiap tahun ada 4 test yaitu UTS, US, UTS lagi dan UKK, dengan ditambah ulangan harian yang sering memborbardir otak pelajar. Bukan hanya itu saja, mereka bahkan mengalami tekanan batin yang luar biasa jika bisa di lihat dengan mata. Ketika ada yang mengarapkan hasil yang maksimal namun kenyataannya tidak, tentunya bukan hanya kualitas mental yang akan menurun, otak juga. Otak yang terlalu memikirkan dan berfikir dua kali setelah test akibat remidial yang terlalu berat. Suatu hal yang tidak patut untuk digunakan dalam sistemnya. Remidial bukan hanya sekedar memperbaiki nilai dan sebagainya, namun secara "naluri", remidial juga seperti pengobatan kepada murid yang masih tertinggal. Namun, kenyataanya di dalam pandangan kebanyakan orang, remidial adalah suatu keadaan yang jelas terlihat antara di bodoh dan pintar. Itulah yang terjadi di kebanyakan lingkup sekolah. 

Sedangkan di Finlandia, ada sistem otomatis naik kelas. Guru wajib membimbing murid yang tertinggal. Di Finland juga tidak menekan tes dan ujian untuk siswanya. Bahkan hanya ada 1 kali test untuk masuk PT setelah SMA dan test wajib umur 16. Bukankah itu sangat efisien? Finland menduduki peringkat dua ujian PISA. Sedangkan Korea di peringkat tiga dan China di peringkat pertama. 

Lantas? Apakah ini berbadingan? Bukan, ini suatu pemikiran yang mana Indonesia memiliki potensi pelajar yang mampu berrestasi di bidangnya masing-masing. Namun, sistem yang diimplementasikan itu tidak bersahabat dengan adanya pelajar yang berprestasi. Mengandalkan ujian nasional yang  masih doyan dengan sistem pilihan ganda. 

Berikut adalah perbedaan yang ada di Indonesia dengan Finland 

1. Kita masih asyik memborbardir siswa dengan sekian banyak tes (ulangan harian, ulangan blok, ulangan mid-semester, ulangan umum / kenaikan kelas, dan ujian nasional). Finlandia menganut kebijakan mengurangi tes jadi sesedikit mungkin. Tak ada ujian nasional sampai siswa yang menyelesaikan pendidikan SMA mengikuti matriculation examination untuk masuk PT.

2. Kita masih getol menerapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) sehingga siswa yang gagal tes harus mengikuti tes remidial dan masih ada tinggal kelas. Sebaliknya, Finlandia menganut kebijakan automatic promotion, naik kelas otomatis. Guru siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas.

3. Kita masih berpikir bahwa PR amat penting untuk membiasakan siswa disiplin belajar. Bahkan, di sekolah tertentu, tiada hari tanpa PR. Sebaliknya, di Finlandia PR masih bisa ditolerir tapi maksimum hanya menyita waktu setengah jam waktu anak belajar di rumah

4. Kita masih pusing meningkatkan kualifikasi guru SD agar setara dengan S1, di Finlandia semua guru harus tamatan S2.

5. Kita masih menerima calon guru yang lulus dengan nilai pas-pasan, sedangkan di Finlandia the best ten lulusan universitas yang diterima menjadi guru.

6. Kita masih sibuk memaksa guru membuat silabus dan RPP mengikuti model dari Pusat dan memaksa guru memakai buku pelajaran BSE (Buku Sekolah Elektronik), di Finlandia para guru bebas memilih bentuk atau model persiapan mengajar dan memilih metode serta buku pelajaran sesuai dengan pertimbangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun