Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Saya, China, dan Corona (Part 1)

10 Februari 2020   14:19 Diperbarui: 10 Februari 2020   14:27 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta yang mengikuti training di Xiamen University tahun 2012. | dokpri

Sudah saatnya saya speak up. Ya, bicara soal keenggananan saya selama ini tentang negeri yang selalu dibully oleh orang-orang yang tidak sadar menggunakan produk dengan tulisan 'Made in China'. Ini tentang kejengahan saya, pengalaman, dan juga sesuatu yang menggemparkan saat ini. Virus Corona.

Tahun 2012, pertama kali saya menginjakkan daratan Tionkok bagian selatan, Xiamen. Kota ini terletak di provinsi Fujian, lokasinya pas di tepi Laut China Selatan yang terpampang biru di peta. Saat ini pula saya terkaum dengan indahnya negara yang katanya sangat jauh dan disunnahkan menuntut ilmu ke negeri ini.

Saya penggemar fanatik Jepang. Tidak peduli seberapa kejam negara dengan teknologi canggih ini pernah menjajah. Sebagai orang Indonesia yang terkenal pemaaf dan ramah, saya pun demikian. Memaafkan masa lalu bilateral negara kami. Fix! Saya mencintai segala hal yang berbau Jepang. Terutama manga dan sakura.

Pada tahun 2012, setelah Confucius Institute memperkenalkan Xiamen dan Bahasa Mandarin kepada saya, hati saya mulai berpaling tipis-tipis. Saya mulai membuka hati untuk mengajukan beasiswa ke negeri ini melalui China Scholarship Council  (CSC). Bukan karena pengaruh CI yang mencuci otak. Tidak ada kaitannya sama sekali. Pada masa itu segala hal yang berbau rasis atas nama warna kulit sama sekali tidak pernah masuk hitungan dalam perdebatan sosial. Apalagi di dunia sosial media yang belum tenar-tenar amat.

Tepatnya almarhum Ayah yang menyarankan saya untuk mencoba beasiswa ke China setelah malang melintang dalam pertarungan beasiswa ke Taiwan. Beberapa kali saya mendapatkan Letter of Admission  (LoA) yang dikirimkan ke email oleh kampus yang saya ajukan. Namun saya tidak memiliki jaringan untuk membantu saya pada tahap pengajuan beasiswa. Beberapa email yang saya kirimkan ke kedutaan Taiwan di Jakarta pun tidak mendapat respon apa-apa.

Ayah berkata, "Kalau Jepang tidak pernah mengulurkan tangan, coba negara lain. Jepang berseberangan dengan China. Mungkin melalui China kamu akan mendapat peluang ke Jepang."

Agak enggan saya mengajukan beasiswa ke China melalui kedubes. Program CSC ini ternyata masih menjaring calon penerima beasiswa dengan ketat. Saya tidak lulus. Harapan saya berkuliah di Xiamen University tidak seindah bayangan saya berkuliah di Tokyo University. Memang benar, lebih mudah memimpikan daripada memperjuangkan.

Di tahun yang sama, Ayah terserang stroke ringan. Namun penyait kronis ini berhasil melumpuhkan separuh tubuhnya. Sebelah kiri. Dalam waktu 21 hari, ayah pulih. Beliau memamerkan langkah pertama yang super berat di depan saya. Jujur, saya sangat terharu dan membuang segala mimpi meanjutkan kuliah karena Ayah. Di tahun yang sama pula, Ayah kembali membuka mata saya.

Ayah bertanya, "Apa kamu mengajukan beasiswa tahun ini?"

"Tidak."

"Kenapa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun