Mohon tunggu...
Ulan AprilisdaYanti
Ulan AprilisdaYanti Mohon Tunggu... Lainnya - Recruitment Specialist Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika

Tertarik dengan isu pertanian, lingkungan, pendidikan, politik dan kesehatan mental. Mulai aktif menulis dan membuat konten di tahun ini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Mental, Apakah Penting?

2 April 2019   05:08 Diperbarui: 2 April 2019   05:27 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di zaman milenial saat ini, pendidikan formal dianggap inti dari kecerdasan. Anak akan dianggap cerdas dan pintar dengan hasil belajar yang bagus dan memuaskan. Bahkan, seseorang dapat dengan mudah menyimpulkan kesukesan orang lain hanya dari pendidikan formal di sekolah dan bangku perguruan tinggi. Tidak dipungkiri pola pikir tersebut sudah menjamur di negeri ini. Kondisi demikian bermula dari ruang lingkup terkecil yaitu keluarga yang memiliki peran utama dalam perkembangan mental sang anak. 

 

Kita dapat mengambil contoh dari keluarga Boris Sidis asal Ukraina. Boris Sidis yang menjabet gelar Ph.D., M.D., bidang psikologi dari Universitas Harvard adalah sang ayah dari anak jenius bernama William James Sidis. Sejarah sudah mencatat Sidis adalah orang terjenius di dunia dengan IQ lebih dari 250 yang sudah melebihi IQ dari Leonardo Da Vinci, Jhon Stuart Mills bahkan Albert Einsten sekalipun. 


Ibunya yang bernama Sarah Mandelbaum Sidis merupakan seorang dokter lulusan Bonston University bersama-sama dengan suaminya mendidik Sidis. Sidis menjadi model penerapan konsep pendidikan baru yang ditemukan Boris Sidis. Hasilnya sangat memuaskan, James Sidis terkenal di permukaan dengan kejeniusannya yang melejit. 


Dia mampu menguasai 200 bahasa asing dalam hidupnya. Di usinya yang baru menginjak 11 tahun, Sidis sudah masuk ke jenjang peguruan tinggi kemudian lulus di usia 16 tahun dengan nilai cumlaude. Namun kecerdasan Sidis hanya sebatas Intelektual akademis tidak diiringi dengan kecerdasan mental. Sidis jenius mengasingkan diri dari keluarganya dan ditemukan dalam keadaan amat miskin dan meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Bahkan semasa hidupnya James Sidis tidak pernah memiliki pacar, isteri, dan hanya memiliki sedikit teman.

 

Hal penting yang perlu diketahui bahwa Boris Sidis telah berhasil menerapkan metode pembelajaran kepada anaknya dalam bidang intelektual akademisi namun gagal total dari segi mental. Sidis mengalami gangguan mental dan merasa tekanan dengan lingkungannya sehingga mengasingkan diri. 


Kondisi tersebut terjadi pula pada masa milenial kini yang menjadikan kecerdasan akademis sebagai rujukan 

pertama dalam menentukan kecerdasan seseorang. 


Menurut Goelman, salah seorang peneliti ilmu perilaku dan otak, doktor yang berasal dari Harvard University menyatakan bahwa IQ (Intelligence Quotient) hanya berperan sebesar 5-10 % dalam keberhasilan seseorang, sedangkan selebihnya berasal dari kecerdasan-kecerdasan lain terutama pada kemampuan EQ (Emotional Quotient).

 

Walaupun Intelligence Quotient telah menjadi tolak ukur dalam menentukan kecerdasan seseorang, maka Emosional Quotient juga amat penting dalam menentukan kesuksesan sesorang. Bila Emosional seseorang tidak diperkuat dan diabaikan hal yang akan terjadi seperti pengalaman James Sidis tadi. Secara psikologis, ketika kecerdasan emosional telah terganggu dan mengalami kerusakan, maka yang terjadi adalah rusak secara keseluruhan dari segi intelektual dan emosional. Ini akan berdampak negatif bagi kehidupan orang tersebut dan orang lain.

 

Berdasarkan latar belakang inilah, perlu bagi seluruh orang tua memberikan pendidikan mental sejak dini untuk perkembangan anak. Pendidikan mental yang dimaksud adalah penerapan nilai-nlai kehidupan. Anak tidak hanya diajarkan pintar matematika, tapi juga pandai dalam mengelola keuangan, anak tidak hanya diajarkan untuk berbahasa inggris, namun juga berbicara dan bernegosiasi. Mental anak yang kuat mampu menahan gejolak dan realitas kehidupan. 

 

Selain yang telah disebutkan diatas, mental seorang anak haruslah diasah dari usia belia. Mental emosional yang baik terlihat dari kemampuan percaya diri seseorang untuk menghadapi realitas hidup. Tingkat kepercayaan diri seorang akan tumbuh seiring berjalannya waktu dengan perktumbuhan tubuhnya. 


Dalam hal ini, orang tua sebagai pelaku yang paling dekat dengan anak tidak boleh menciutkan mental anak dengan merendahkan usaha sang anak. Setiap usaha yang dilakukan oleh anak haruslah diberi apresiasi, sehingga di masa depan mereka akan menjadi seseorang yang percaya diri dalam mengambil tindakan-tindakan yang besar. 


Menurut Hakim (2000) percaya diri merupakan kemampuan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimiliki seseorang dan keyakinan tersebut membuatnya mampu untuk mencapai tujuan dalam hidupnya.

 

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang melingkupi hidup sang anak. Respon pertama keluarga merupakan pengaruh terbesar yang akan membentuk mental anak di masa depan. Anak yang memiliki mental kuat tidak akan mudah terombang ambing dengan realitas kehidupan.  Cara yang dapat ditempuh orang tua untuk memberikan pendidikan mental sang anak dapat dirangkum sebagai berikut:

 

1. Mengajarkan anak untuk mencintai dirinya

Mengajarkan anak untuk mencintai dirinya akan membentuk anak menjadi seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang baik. Mencintai diri sendiri sebagaimana yang dimaksud adalah menghargai terhadap segala kemampuan diri. 


Seorang yang rendah diri cenderung merasa tidak puas terhadap dirinya sendiri, tidak menerima apa yang ada dalam dirinya, dan tidak merasa nyaman maupun bahagia terhadap dirinya. Jika anak sudah tidak menghargai dirinya, maka mereka akan takut mencoba sesuatu, tidak memiliki kebanggaan terhadap dirinya, dan akan tertekan. 

 

2. Memberikan tugas dan tanggung jawab kepada anak sesuai usianya

Memberikan tugas pekerjaan kepada anak akan menumbuhkan perilaku mandiri. Selain itu, anak akan memiliki kemampuan baru di luar kemampuan akademiknya di sekolah. Ajarkan anak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan dari mulai hal-hal kecil, bahkan latihlah kepemimpinan anak dalam pekerjaan tersebut. Kepemimpinan merupakan soft skill yang sangat penting untuk menghadapi realitas di masa depan.

 

3. Memberikan apresiasi terhadap apa yang telah dikerjakan

Berikanlah apresiasi terhadap pekerjaan positif yang dilakukan sang anak, sehingga akan membentuk seorang anak yang memiliki kepercayaan diri yang kuat. Anak akan cenderung melakukan aktivitas positif yang lainnya ketika mereka mendapatkan apresiasi yang baik, hal ini juga akan meningkatkatkan inisiatif anak dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.

 

4. Biarkan anak mandiri menyelesaikan pekerjaannya

Ketika anak sedang melalui masa-masa pertumbuhan, sebagai orang tua harus memberikan kepercayaan terhadap mereka untuk membuat keputusan-keputusan kecil. Salah satunya adalah memanajemen keuangan. Ajarkan anak memanajemen keuangannya sendiri, memasak, membersihkan perlengkapan pribadinya, atau hal kecil lainnya sesuai dengan usia anak.

 

5. Ajarkan anak banyak tersenyum

Senyuman merupakan komunikasi nonverbal yang akan membentuk seseorang menjadi orang yang ramah. Orang yang banyak tersenyum akan memberikan energi positif kepada lingkungannya, sehingga orang tersebut akan memiliki banyak teman. 

 

6. Berikan pendidikan nonformal kepada sang anak

Pendidikan nonformal tidak kalah penting dengan pendidikan formal. Asahlah kemampuan anak dengan memberikan pendidikan non formal yang sesuai dengan passions dan tallent-nya. Pendidikan nonformal akan memberikan banyak pengetahuan baru yang akan berdampak pula terhadap tingkat kepercayaan diri anak. 


Pendidikan nonformal yang dimaksud juga termasuk pendidikan spiritual yang akan membentuk seorang anak menjadi orang yang taat dengan agamanya. Sehingga mereka akan lebih tenang dalam menghadapi realitas hidup di masa depan.

 

7. Latih anak menjadi seseorang yang komunikatif

Komunikai sangat diperlukan untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melatih anak menjadi seorang yang komunikatif. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah memberikan anak untuk kesempatan berbicara di berbagai situasi. Seringlah ajak mereka diskusi dan mengutarakan pendapat. Berikan pemahaman kepada mereka untuk mengambil kesempatan berbicara di setiap kesempatan, misalnya ketika sekolah sebagai peserta didik yang aktif dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari gurunya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun