Mohon tunggu...
Munifa Faa
Munifa Faa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ketika mata melihat, telinga mendengar, dan hati merasakan maka tangan akan menulis kata-kata yang tak mampu diucapkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untuk Judul yang Tak Kumengerti

21 April 2015   00:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:51 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kisah ini dimulai dari sebuah kata, yang terangkai menjadi cerita. Hanya ada aku waktu itu; dan kamu datang seperti hujan-membasuhku yang terkurung rasa penyesalan. Perlahan, kamu diam-diam menyusup dalam hidupku, menenggelamkanku dan aku tetap mengikuti kemana arusmu mengalir. Apakah itu dari jurang yang tinggi, dan  terjatuh lalu menerpa bebatuan di kaki bukit. Atau tetap dengan aliran yang tenang tanpa ada gelombang pasang surut; sehingga kita terburai menjadi percikan-percikan yang bisa meretas ketenangan hati, masing-masing kita.

Seperti yang kamu katakan, hidup tidak selamanya datar, aku percaya. Tanpa keraguan, aku tetap melangkah pada jalan yang kamu tunjukkan. Disana, aku merasa baik-baik saja. Aku tidak peduli kepada mereka yang berkata "jangan" atau "tidak semestinya", aku tidak mau peduli. Aku sudah menyerahkan rasa percaya itu tanpa kamu memintanya terlebih dulu. Karena, sebab, adanya keyakinan atas kepercayaan itu

Namun, apa yang aku takutkan terjadi. Ada gelombang yang entah darimana datangnya, perjalanan kita harus terombang-ambing di permukaan. Aku tidak tahu, kalau ternyata seseorang disana juga sama mengalami hal yang kita alami. Dan anehnya, itu dengan orang yang sama. Dia tertawa, aku juga. Dia menangis, aku sama. Dia... dia cemburu, aku juga merasa. Seperti, ketika aku membaca namanya, dia juga pernah membaca namaku. Dan semuanya, sama aku rasa, dia juga rasa.

Sekarang dari persamaan itu, aku merasa adalah bagian dari dirinya. Aku menjadi kagum, menjadi ingin seperti dia. Terlebih saat dia merelakan apa yang juga dia harapkan. Sedangkan aku, aku yang dengan egoku membuatnya semakin terluka. Aku merasa, bahwa aku sedang dalam sebuah jeruji yang gemboknya tidak punya kunci. Meski, apa yang aku inginkan telah dia berikan, namun rasanya aku tidak rela jika dia pergi begitu saja. Aku tahu, aku salah jika memenangkan egoku terlalu tinggi, aku juga berpikir hingga saat ini bagaimana aku bisa hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah terlebih seperti ini.

Disisi lain, kamu mengatakan bahwa aku tidak boleh menyerah,  karena jika aku melakukannya semua yang dia korbankan akan sia-sia, dan betapa kecewanya dia, terhadap aku yang menyia-nyiakannya. Maka aku akan mencoba hidup seperti ini, meski dengan kisah yang rumit yang masih belum kumengerti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun