Salah satu fungsi dari mempelajari filsafat adalah untuk tujuan mengasah logika akal fikiran kita agar ketika digunakan membedah segala suatu persoalan ia bisa setajam pisau.misal bisa membuat analisis masalah secara terperinci,bisa meng organisasikan atau menata permasalahan yang semula nampak acak-semrawut -tumpang tindih hingga menjadi tertata-ter organisir hingga lebih mudah untuk diselesaikan
Fungsi demikian itu dapat kita peroleh ketika kita telah faham rambu rambu aturan berfikir atau hukum hukum berfikir atau kaidah berlogika yang terdapat dalam filsafat yang fungsinya adalah untuk menata baik cara maupun arah berfikir
Tetapi ingat,filsafat bukan semata institusi tempat berdirinya seperangkat hukum berfikir-kaidah kaidah berlogika, karena filsafat pun adalah ranah berfikir bebas dan karenanya dari filsafat bisa lahir orang orang dengan arah berfikir yang berlainan bahkan yang saling berlawanan satu sama lain yang ujungnya melahirkan muara semisal filosofi cara pandang serta mazhab berfikir yang berbeda beda
Dan yang harus diketahui walau filsafat adalah ranah tempat dibuatnya seperangkat hukum berfikir tapi ternyata para pemikir didalamnya tidak selalu merupakan orang orang yang selalu setia menggunakan hukum hukum berfikir formal yang telah ditegakkan itu.ada yang cara berfikir nya masih ber corak rasionalistik-taat aturan-berpijak pada kaidah hukum logika tapi ada yang juga yang cenderung 'spekulatif'. istilah 'spekulatif' makna nya berkebalikan dengan 'rasional'.bila rasional mengarah ke rumusan atau simpulan pasti berdasar hukum logika sedang spekulatif tidak pasti berdasar hukum logika
Bahkan dalam ranah filsafat kontemporer hukum hukum logika itu malah digugat-di pertanyakan kembali bahkan lalu diruntuhkan satu persatu dengan istilah 'di dekonstruksi' sehingga jadilah filsafat post mo ranah berfikir bebas yang sudah tak lagi mengacu pada hukum hukum logika formal,sebab itu disana pendapat pribadi lebih dihargai ketimbang konses bersama berdasar kaidah keilmuan-kaidah logika
Dengan kata lain,bila hukum hukum logika itu mengarahkan manusia pada konsesus bersama-kepada 'kebenaran obyektif'-bentuk kebenaran yang difahami dan disepakati bersama sedang prinsip berfikir bebas kadang sering berdasar prinsip cara berfikir spekulatif (di luar kaidah kaidah logika) dan sering melahirkan bentuk 'kebenaran subyektif' yaitu bentuk kebenaran yang lebih berdasar pada pandangan pribadi.yang terakhir ini adalah karakter filsafat post mo sedang karakter cara berfikir yang setia pada hukum logika formal merupakan karakter sebagian besar atau arus utama (mainstream) failosof klasik
Itu sebab bila mengacu pada prinsip berfikir bebas serta lahirnya aliran post mo maka filsafat tak selalu paralel atau harus di paralelkan dengan prinsip berfikir rasional karena makna 'rasional' adalah 'berdasar kaidah hukum logika yang disepakati bersama' (sehingga melahirkan bentuk kebenaran yang dapat disepakati bersama).sedang dalam filsafat banyak pemikiran yang sulit difahami atau tidak masuk ke logika akal fikuran seseorang karena berasal dari cara berfikir spekulatif yang kebenarannya lebih bersifat subyektif
Coba fikir baik baik,apakah semua jalan fikiran Nietszhe itu rasional-berdasar ketaatan pada kaidah hukum logika formal atau lebih merupakan bentuk pemikiran spekulatif karena lebih merupakan ekpressi beliau yang mengagungkan prinsip berfikir bebas ?
Jadi prinsip berfikir bebas atau kebebasan berfikir dalam ranah filsafat itu sebenarnya tidak selalu paralel-identik dengan hukum logika-kaidah ilmiah-kaidah ilmu pengetahuan karena hukum hukum berfikir itu justru membatasi cara berfikir orang agar tetap berpijak pada kaidah yang berlaku dan inilah sebenarnya kaidah prinsip 'rasionalitas' artinya rasionalitas adalah prinsip yang dibangun oleh kesetiaan pada hukum logika.artinya, bentuk kebenaran rasional itu konstruksinya dibangun oleh hukum hukum atau kaidah kaidah berfikir formal yang telah ditetapkan dan disepakati bersama
Ini perlu di fahami,jangan sampai bentuk pemikiran spekulatif yang kebenarannya lebih bersifat subyektif malah mengklaim sebagai 'rasional' karena makna rasional itu identik dengan sesuatu yang konstruksinya berdasar hukum berfikir formal
Sekarang kita faham kan bila tidak semua pemikiran yang lahir dari dunia filsafat itu rasional (!)
Nah karena itu,bila lalu ada wacana : apakah agama dan filsafat dapat di sintesis kan ?
Maka analisis serta rumusan saya diatas harus difahami terlebih dahulu.jangan lalu membuat simpulan yang salah misal 'agama dan filsafat tidak bisa disintesiskan karena filsafat adalah jalan fikiran rasional dan agama adalah ranah irrasional',ini prinsip serta rumusan yang pasti salah
Sebagaimana artikel saya kemarin bahwa agama dan sains dapat disintesiskan selama sains berpijak pada fakta empirik otentik bukan pada teori teori imajinatif yang tak ada dalam kenyataannya maka demikian pula agama dan filsafat dapat di sintesiskan selama filsafat (dan para pemikirnya) berpijak pada hukum hukum ilmu pengetahuan atau pada hukum hukum logika formal
Sebagai contoh,dimasa silam era failosof klasik, sintesis antara hukum logika formal yang diambil dari filsafat dengan agama itu melahirkan rumusan rumusan teoligis semisal yang dibuat oleh Thomas aquinas
Dengan kata lain,disiplin ilmu teoligi adalah bentuk keilmuan hasil sintesis antara hukum logika formal hasil kreasi para failosof dengan firman Tuhan, sehingga bila ingin mengetahui bagian dari firman yang bisa direkonstruksi akal fikiran maka tinggal baca buku buku teologi
Tapi hubungan harmonis filsafat klasik dengan agama yang berdasar prinsip rasionalitas itu mulai redup di era modern ketika Immanuel kant merubah arah filsafat dengan tak lagi logosentris-tak lagi orientasi-mengacu pada hukum logika formal.Kant lebih memijakkan filsafat pada prinsip empirisme-prinsip logika menjadi dibatasi sebatas yang dapat diterima unsur pengalaman.semua hal diluar pengalaman dimasukkan ke ranah 'noumena' lalu dikunci oleh Kant sebagai 'ranah yang tak bisa diketahui'.hukum logika pun dilarang mengutak atik ranah 'misteri' itu.jadilah dalam ranah Kantian agama lebih bercorak moral ketimbang rasional
Lebih parah lagi hubungan agama dengan filsafat di era post modern ketika hukum hukum ilmu pengetahuan formal yang dibangun oleh filsafat atau hukum logika di dekonstruksi habis habisan sehingga filsafat tak lagi bercorak logosentris-rasionalistik.pemikiran spekulatif yang bercorak subyektif pun merajalela.tak ada lagi unsur keilmuan yang bisa dipakai untuk merekonstrulsi agama sehingga apa agama dalam filsafat kontemporer lebih diserahkan pada pandangan individu masing masing orang
Lebih mudah merekonstruksi agama dengan peralatan logika di era klasik karena peralatannya seperti tersedia komplit,agak sulit merekonstruksi agama dengan peralatan yang dibuat Kant karena sangat terbatas dan sangat dibatasi,dan lebih rumit lagi merekonstruksi agama dengan filsafat kontemporer karena disini hukum hukum logika formal sudah tidak dijunjung lagi,lalu kita akan menemukan pandangan terhadap agama yang beragam dan tentu bisa saling berlainan karena sudah bercorak individualis
Itulah gambaran singkat 'peta' hubungan agama dengan filsafat di sepanjang zaman
Sebab itu kita harus berfikir,ketika kita mencoba mensintesis kan agama dengan filsafat atau merekonstruksi agama dengan menggunakan peralatan filsafat itu memakai cara apa-mana atau kacamata apa sebab teramat banyak cara dan kacamata yang dapat digunakan dan tentunya ada yang cocok-bisa dan ada yang tidak cocok-tidak bisa
Agama mungkin kurang cocok-tidak cocok atau bahkan tidak bisa di rekonstruksi dengan cara atau kacamata materialisme-empirisme-Kantianisme-post modernisme dlsb.itu bukan berarti agama tidak rasional-tidak ilmiah tapi cara-peralatan ilmiah serta kacamata yang dipakai tidak tepat
Dan bila kita kembali kepada pertanyaan mendasar diatas maka ada banyaknya aliran dalam filsafat selain rasionalisme itu sebenarnya sudah cukup menjawab bahwa tidak semua dan tidak selamanya filsafat itu bercorak rasional dan karenanya tak harus selalu di identikkan dengan akal-dengan logika-dengan rasionalitas dan keliru kalau menganggap apapun yang datang dari dunia filsafat itu 'rasional' karena makna definisi 'rasional' adalah mengacu pada prinsip yang dibangun oleh hukum hukum berfikir formal yang disepakati dan dapat karenanya menjadi direkonstruksi akal siapapun yang ber akal sehat
Bahkan ranah filsafat sering menjadi tempat seseorang mencurahkan pemikiran pemikiran yang hanya merupakan pandangan pribadinya belaka bahkan kadang pandangan pribadi yang 'gelap'-mengerikan-menakutkan bagi orang lain
Atau bila seorang pemikir sudah lebih orientasi pada prinsip berfikir bebas-kebebasan individu-bukan lagi pada mencari kebenaran ala filsafat berdasar kaidah keilmuan formal maka pemikiran pemikiran bercorak spekulatif-subyektif sudah biasa kita lihat berhamburan dalam ranah filsafat
Maka saat itulah kita mesti waspada dengan filsafat,mesti ingat dengan petuah orang orang bijak yang mewanti wanti bahaya filsafat sebagai 'racun'
Mesti hati hati ketika mensintesiskan agama dengan filsafat atau merekonstruksi-membedah agama dengan wacana filsafat karena bila tidak menggunakan cara serta peralatan yang tepat maka bukannya menghasilkan rumusan yang benar-ilmiah-rasional malah bisa bisa agama menjadi rusak. tengok ketika Nietszhe membedah Tuhan,ia pakai cara apa .. sih
Sebab itu persentuhan,pertemuan, kolaborasi agama dengan filsafat bisa melahirkan iman tapi bisa juga sebaliknya, itu sebenarnya bergantung pada cara-peralatan-kacamata apa-yang bagaimana yang digunakan
Apakah fikiran fikiran para failosof era kontemporer masih rasional ?
Apakah nihilisme-skeptisisme dan simpulan simpulan 'gelap' itu hasil rumusan berdasar kaidah logika ?