Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Indoktrinasi Toleransi Kebablasan

11 Januari 2019   07:03 Diperbarui: 11 Januari 2019   08:40 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : scrministries.com

Analoginya ibarat cat beraneka warna; hijau,kuning,merah,biru dlsb.semua itu memiliki karakter warna tersendiri sebagai identitas nya dan akan tetap dengan identitasnya masing masing apabila dijaga untuk tidak tercampur satu dengan lainnya.memisahkan tiap warna itu dalam wadah yang terpisah adalah cara untuk agar masing masing tidak tercampur satu dengan lainnya walau tiap kaleng cat itu ada menyatu dalam satu tempat.tapi coba buka semua kaleng cat itu dan satukan semua warna yang ada di dalamnya maka akan lenyaplah identitas warna masing masing,tak ada lagi kuning-merah-hijau dlsb, yang ada adalah warna yang tidak beridentitas.

Itu adalah analogi untuk kaum penggagas toleransi-kebhinekaan agar jangan sampai masuk terlalu dalam ke wilayah 'inti' yaitu wilayah yang menjadi kepercayaan serta keyakinan umat beragama. Bila mereka yang memiliki keyakinan mengklaim agama nya sebagai yang paling benar itu adalah hak asasi nya, sebab bila tidak meyakini sebagai yang paling benar bagaimana mereka memegangnya sebagai keyakinan? 

Seseorang tidak bisa memegang dua atau lebih hal yang berlawanan dan lalu meyakini semua sebagai paling benar karena hati manusia itu hanya satu dan hanya dapat menyimpan satu keyakinan. Analoginya ibarat pilihan jawaban dalam ujian sekolah; pilih a-b-c atau d? maka kita tak bisa memilih semuanya untuk dianggap 'semua benar'.

Artinya logika akal sehat harus dipakai dalam menyikapi adanya keragaman agama-kepercayaan jangan mendoktrin mereka dengan hal-hal yang irrasional-membelakangi akal.Misal mendoktrin mereka yang memegang keyakinan tertentu 'agar terbuka terhadap adanya keragaman'-'agar tidak fanatik' dengan lalu mendesain perkataan seperti ini;  'harus belajar menerima kebenaran lain yang berbeda'. Coba fikir dengan logika; kalau disuruh menerima sesuatu yang kita yakini salah maka apa itu tidak melabrak logika akal sehat? Saya yakin 5x5=25 maka apa saya harus menerima juga 5x5=20 sebagai kebenaran?

Atau mendoktrin mereka yang memegang keyakinan tertentu dengan ucapan 'jangan merasa benar sendiri'. Sebab, lha coba fikir dengan logika akal sehat, bila sesuatu tidak diyakini sebagai kebenaran maka untuk apa memegangnya sebagai keyakinan? Untuk apa memegang sesuatu yang tidak saya yakini sebagai kebenaran? atau bila saya di doktrin untuk menerima sesuatu yang saya yakini sebagai bukan kebenaran maka apakah akal saya dapat menerimanya?

Jangan pula memprovokasi orang yang berkeyakinan tertentu dengan ungkapan ungkapan yang memperlihatkan antipati-ketaksukaan terhadap adanya klaim kebenaran golongan. Sebab bila orang berkeyakinan memegang klaim kebenaran sendiri sendiri disamping itu merupakan hak asasi nya juga merupakan suatu ke logisan karena secara logika mereka tidak akan memegang apa yang tidak mereka yakini sebagai kebenaran

Jangan pula mendoktrin agar penganut kepercayaan tertentu mensejajarkan serta menyamaratakan semua kepercayaan yang ada atau mensejajarkan kepercayaannya dengan kepercayaan lain yang berbeda dengan filosofi 'penerimaan terhadap keragaman' karena secara logika bila semua yang berbeda harus disejajarkan dan dipandang sama benar tanpa harus ada perbedaan sama sekali maka berarti memegang sesuatu yang dipandang benar menjadi tak berarti sama sekali.Sebab seseorang memegang sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran karena sebelumnya ada keyakinan bahwa dibalik itu ada yang tidak benar.dan secara logika kebenaran itu tentu tak bisa disederajatkan serta disejajarkan dengan yang dipandang tidak benar. Ada prinsip benar-salah dalam apa yang menjadi keyakinan seseorang dan itulah landasan mengapa seseorang tak bisa mensejajarkan kepercayaan yang berbeda dengan yang dipercayainya.

Seorang yang memegang kepercayaan bahwa Tuhan itu maha esa misal tentu tak bisa memandang penyembahan terhadap Tuhan yang banyak sebagai suatu yang sejajar dan sederajat dengan apa yang diyakininya melainkan akan dipandang sebagai suatu yang salah,ini adalah hukum logika-hukum identitas, dimana dalam hukum identitas maka benar-salah itu bukan proposisi yang bisa disederajat kan

Itulah ketaklogisan-ketaklogisan yang tanpa disadari sering dilakukan oleh penggagas toleransi atau ketika seseorang ingin bicara masalah toleransi. Yang harus dilakukan oleh para penggagas toleransi adalah menjaga agar masing masing menghormati pilihan masing masing dan mendesain agar secara sosial perbedaan kepercayaan itu tidak menimbulkan konflik fisik atau konflik sosial.

Konflik teologis diantara para penganut kepercayaan pasti ada dan itu suatu yang mustahil dipungkiri tetapi itu harus dijaga agar jangan sampai menjadi konflik fisik-sosial, yang harus diutamakan adalah menghormati pilihan masing masing bukan berfikir bagaimana agar masing masing tidak fanatik pada keyakinannya.konflik teologis itu jangan masuk desain serta program indoktrinasi para penggagas konsep toleransi

..............

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun