Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bukan lagi sekadar wacana normatif, tetapi telah menjadi tuntutan global yang harus diimplementasikan dengan langkah konkret. Dalam konteks Indonesia, kebijakan ekonomi yang mengusung prinsip keberlanjutan telah dirumuskan dalam berbagai regulasi, seperti komitmen Net Zero Emissions pada tahun 2060, penerapan pajak karbon, serta dorongan terhadap investasi hijau.Â
Kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Namun, dalam realitas implementasinya, kebijakan tersebut masih menghadapi berbagai tantangan fundamental. Di satu sisi, terdapat berbagai regulasi yang bertujuan mendorong ekonomi hijau, tetapi di sisi lain, ketergantungan terhadap industri berbasis sumber daya alam, terutama sektor energi fosil, masih sangat tinggi. Selain itu, kesenjangan antara kebijakan yang dirumuskan dengan pelaksanaan di lapangan menunjukkan adanya tantangan dalam aspek kelembagaan, komitmen politik, serta kesiapan dunia usaha dalam mengadopsi prinsip keberlanjutan.
Dinamika Implementasi Kebijakan Ekonomi Berkelanjutan
Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi berkelanjutan di Indonesia adalah dominasi sektor energi fosil dalam bauran energi nasional. Meskipun terdapat target untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan, realitasnya, batu bara masih menjadi sumber energi utama yang digunakan oleh industri dan pembangkit listrik.Â
Hal ini bukan sekadar permasalahan teknis, tetapi juga menyangkut kepentingan ekonomi dan politik yang kompleks. Sebagian besar investasi di sektor energi masih mengarah pada industri berbasis bahan bakar fosil, sementara transisi ke energi hijau masih terkendala oleh keterbatasan infrastruktur, teknologi, serta insentif ekonomi yang belum cukup menarik bagi investor.
Di sektor keuangan, konsep Sustainable Finance telah mulai diterapkan melalui kebijakan yang mendorong investasi berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG). Namun, adopsinya di kalangan perbankan dan lembaga keuangan masih terbatas.Â
Sebagian besar pelaku usaha, terutama yang berskala kecil dan menengah, belum memiliki akses yang memadai terhadap skema pembiayaan hijau. Keterbatasan literasi keuangan berkelanjutan, ketidakpastian regulasi, serta minimnya instrumen insentif bagi bisnis hijau menjadi faktor utama yang menghambat percepatan implementasi kebijakan ini.
Selain itu, mekanisme pajak karbon yang telah diperkenalkan sebagai instrumen ekonomi untuk mengurangi emisi karbon juga masih menghadapi tantangan dalam eksekusinya. Banyak pelaku industri yang menganggap pajak karbon sebagai beban tambahan, bukan sebagai pendorong untuk melakukan inovasi dan efisiensi energi.Â
Tanpa adanya strategi yang lebih komprehensif, kebijakan ini berpotensi tidak mencapai tujuan yang diharapkan dan justru menjadi disinsentif bagi pertumbuhan industri, terutama di sektor manufaktur yang masih sangat bergantung pada energi fosil.
Kesenjangan antara Kebijakan dan Realitas di Lapangan
Meskipun kebijakan ekonomi berbasis keberlanjutan telah menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional, masih terdapat kesenjangan signifikan antara regulasi yang telah dirumuskan dengan realitas implementasi di lapangan.Â