Jabatan itu seperti candu bagi para politikus. Kekuasaan yang dimilikinya menjadi dua bilah mata pisau yang tajam. Tergantung siapa yang menggunakan dan untuk apa digunakan.Â
Tak dipungkiri, Indonesia sebagai negara yang menjunjung demokrasi tetap membutuhkan mereka. Namun, tak sedikit dari mereka yang terpilih justru menjadi penghambat pembangunan dan justru menjadi sumber malapetaka.Â
Menjelang pesta demokrasi 2019, mereka mulai menyiapkan strategi untuk mendapatkan dukungan suara supaya terpilih kembali. Sebut saja Andi Surya, salah satu politikus DPD Lampung yang dikenal vokal membantah Grondkaart sebagai alas hak kepemilikan lahan yang hak penguasaannya telah diserahkan kepada BUMN.Â
Herannya, yang diusik-usik itu lahan PT. KAI (Persero) yang jelas-jelas bukan tanah negara bebas dan sebagian besar lahannya sudah tersertipikat dan sisanya dalam proses pensertipikatan. Pemahaman mengenai Grondkaart dan Ruang lingkupnya Sudah pernah saya bahas dan tulisa dalam bebebrapa artikel sebelumnya.
Berbagai penjelasan yang salah kaprah Andi Surya mengenai Grondkaart mudah kita jumpai di rilis-rilis berita online. Tak jarang ia mengundang beberapa pakar yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan mengenai Grondkaart.Â
Ahli hukum agraria sekalipun pasti akan berpijak pada hukum positif. Sementara untuk mengkaji kebasahan Grondkaart diperlukan penjelasan secara runtut dari masa ke masa.Â
Terpenting adalah Grondkaart bukan saja surat ukur tanah dan gambar peta, melainkan jika dipasangkan dengan manuskrip pasangannya yaitu lembar negara maka sempurna secara administratif karena ada setidaknya lima tandatangan pejabat berwenang pada masa itu.Â
Logikanya, negara tidak mungkin akan membangun jalur-jalur kereta api di atas lahan-lahan yang tidak dalam penguasaannya yang jelas terbukti sudah juga dibebaskan oleh pemerintah Belanda pada masa itu untuk kepentingan-kepentingan pembangunan SS yang bukan saja untuk rel melainkan segala fasilitas penunjangnya seperti rumah-rumah untuk pejabat SS saati itu dan lain sebagainya.
Pada tanggal 27 Desember 1949 melalui KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, semua aset pemerintah Kolonial menjadi aset pemerintah Indoneisa termasuk tanah-tanah yang dibuktikan dengan Grondkaart di nasionalisasi.Â
Salah satu konsekuensinya adalah semua tanah kereta api Belanda yang tertera di atas Grondkaart menjadi aset Djawatan Kereta Api Indonesia yang saat ini adalah PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Ganti rugi atas nasionalisasi kepada pemerintah Belanda ini sendiri baru selesai pada tahun 2003 dan dibayarkan oleh Pemerintah Indonesia.
Andi Surya selalu berkilah menuduh bahwa PT. KAI tidak memiliki Grondkaart asli. Hal ini kemudian ia jadikan komoditi untuk pembenaran bahwa PT. KAI tidak mampu menunjukan Grondkaart yang asli.Â