Mohon tunggu...
Uci Junaedi
Uci Junaedi Mohon Tunggu... Administrasi - SocialMedia

Social Media Businnes Service

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukti Kenegarawanan Presiden SBY

20 Agustus 2014   04:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:05 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-69 di Istana Negara pada hari Ahad (17/8) yang lalu, diantara undangan yang hadir  tampak sejumlah mantan presiden /wakil presiden dan atau anggota keluarga presiden/wakil presiden. Memang Sudah tradisi tahun-tahun sebelumnya bahwa keluarga mantan presiden selalu diundang untuk mengikuti upacara penting dan khidmat tersebut.

Namun, sangat disayangkan sekali bahwa ada satu hal yang tidak pernah tampak adalah kehadiran mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Beliau adalah satu-satunya presiden wanita dalam sejarah Indonesia, Megawati  tidak pernah hadir dalam memenuhi undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sudah satu dasawarsa pemerintahan Presiden SBY, Megawati selalu tidak hadir dalam acara peringatan detik-detik proklamasi. Pada upacara peringatan Hari Kemerdekaan yang ke-69 kemarin, keluarga dari Mantan Presiden Indonesia pertama Soekarno yang diwakili oleh Guruh Soekarnoputra.

Persoalan ketidak hadiran Megawati sebagai mantan Presiden di Istana negara, hanyalah soal etika dan kepantasan. Sebagai tokoh publik yang diharapkan mengedepankan sikap kenegarawanan, perilaku Megawati yang tidak pernah memperlihatkan respons positif apabila menerima undangan dari SBY, hanya bisa dipersoalkan dari kacamata etika politik.

Perlu kita ketahui, bahwa hakikat dari seorang negarawan adalah berpikir dan bertindak untuk bangsa ini dalam jangka panjang demi kepentingan dan kemaslahatan generasi mendatang. Adapun sebaliknya, apabila seorang presiden yang hanya berpikir dan bertindak untuk kepentingan politiknya, dia adalah seorang politisi.

Ketidakompakan Megawati dan SBY sudah diketahui demikian sangat terbuka oleh masyarakat. Banyak pihak yang menduga, bahwa Megawati masih memiliki konflik pribadi dengan SBY setelah SBY maju sebagai calon presiden dan mengalahkan Megawati pada Pilpres 2004 dan 2009. Apabila keduanya bertemu dalam forum resmi pun, jabat tangan SBY-Megawati selalu ditunggu. Sampai saat ini telah terjadi sekurangnya tujuh kali jabat tangan dalam 10 tahun terakhir. Akan tetapi, jabat tangan itu tampaknya hanya merupakan tindakan "teknis" belaka, tanpa roh komunikasi.

Sampai saat ini, pihak SBY tampak tak kurang berusaha "mendekati" Megawati dengan aneka sinyal dan "undangan" terbuka untuk bersilaturahmi. Terakhir, SBY menyatakan tetap berkeinginan membuka silaturahmi dengan Megawati di situs youtube pada bulan April yang lalu. Hingga saat ini, ajakan SBY untuk menjalin komunikasi dengan Megawati, tampaknya masih "bertepuk sebelah tangan".

Bagi SBY, hubungan dengan Megawati tampaknya dijadikan agenda silaturahmi yang penting, apabila tidak dikatakan yang utama. Bagi SBY, dalam ihwal relasi politik dengan pihak lain, tampaknya hubungan dengan Megawatilah yang masih merupakan ganjalan satu-satunya. Dan hal itu pula yang tampaknya masih terus diperjuangkan oleh SBY.

Pada hakikatnya seorang presiden tidaklah boleh melihat penggantinya sebagai lawan politik jika kebetulan dia berasal dari partai politik yang berbeda. Sebab, apabila seorang presiden melihat proses suksesi kepemimpinan nasional dari kacamata politik, maka besar kemungkinan dia tidak akan mendukung penggantinya, dan justru berpikir bagaimana cara untuk mengganjal dan membuat pemerintahan baru berjalan terseok-seok.

SBY ingin mengakhiri 10 tahun pemerintahannya dengan mulus, termasuk membangun relasi yang baik dengan para mantan presiden. Sebagai tokoh berlevel nasional, bahkan internasional, SBY ingin mengajak Megawati mempertontonkankan hubungan yang harmonis. Diharapkan, hubungan baik keduanya, memberi inspirasi ke "bawah" sehingga di masyarakat tidak akan terjadi dikotomi ataupun gesekan-gesekan yang tidak perlu. Dengan cara pandang seperti inilah, maka keharmonisan SBY-Megawati adalah juga keharmonisan bangsa. Keharmonisan tokoh bangsa akan selalu menjadi tontonan yang baik bagi warganya. Bahkan tidak berlebihan jika tontonan itu juga bisa menjadi tuntunan.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun