Data prevelansi Stunting tahun 2024 di Kabupaten Polewali Mandar berdasarkan Data e-PPGBM (elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) tahun 2024 telah di keluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar. Data SSGI Tahun 2024 belum dikeluarkan Pemerintah Pusat. Bagaimana gambaran prevelensi stunting di Kabupaten Polewali Mandar, berikut beberapa catatan penulis:
Tren penurunan prevelensi stunting ini tidak disertai dengan penurunan besarnya masalah berdasarkan standar WHO dibawah 20%. Dari 16 Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar 10 Kecamatan masih berada di atas 20 % dan 6 kecamatan telah berada di bawah 20%.
Berdasarkan analisis data tahun 2023 yang membahas prevalensi stunting di Kabupaten Polewali Mandar selama tiga tahun terakhir (2021-2023). Ditemukan bahwa tidak ada perubahan signifikan dalam prevalensi stunting selama periode tersebut (P>0,05). Prevalensi stunting tetap berada di atas 20%, yang menunjukkan bahwa masalah ini masih tergolong berat menurut standar WHO.
Bahwa pola prevalensi stunting tidak sesuai dengan target penurunan yang ditetapkan dalam RPJMD Kabupaten Polewali Mandar 2019-2023. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan dan implementasi program penurunan stunting, terutama dalam mencegah kasus baru selama masa kehamilan dan masa pubertas.
Beberapa tantangan dalam percepatan penurunan stunting di Provinsi Sulawesi Barat, khususnya di Kabupaten Polewali Mandar. Diantaranya;
- Data yang Tidak Konsisten: Ada perbedaan interpretasi antara data e-PPGBM (elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat) dan SSGI (Survei Status Gizi Indonesia). Data e-PPGBM menunjukkan penurunan prevalensi stunting hingga Agustus 2022, sementara data SSGI menunjukkan kenaikan dari 33,8% pada 2021 menjadi 35,0% pada 2022, walaupun hasil evaluasi lima tahunan didapatkan angkka prevalesi 28,1%, ini masih belum menunjukkan penurunan tahunan yang signifikan.
- Kesalahan Intervensi: Penyebab utama stunting seperti kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi sering kali diabaikan. Sebaliknya, fokus diarahkan pada isu seperti pernikahan dini dan paparan rokok, yang meskipun relevan, bukanlah penyebab utama.
- Kurangnya Penyelidikan Epidemiologi (PE): Tidak adanya PE untuk memahami penyebab kenaikan prevalensi stunting selama tiga tahun berturut-turut mengakibatkan intervensi yang tidak tepat.
- Kenaikan Angka Kemiskinan: Kemiskinan yang meningkat di Sulawesi Barat dari 2019 hingga 2022 turut berkontribusi pada tingginya prevalensi stunting, terutama melalui kurangnya konsumsi gizi pada ibu hamil dan balita.
- Implementasi Kebijakan yang Lemah: Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting belum sepenuhnya diterapkan secara operasional di tingkat layanan.
Perbaikan dalam pengumpulan data, penyelidikan epidemiologi, dan implementasi kebijakan untuk mengatasi masalah stunting secara efektif.
Catatan lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah Inovasi yang diabaikan dalam upaya penurunan stunting di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Salah satu inovasi yang diusulkan adalah paradigma baru dalam intervensi stunting, yaitu dengan fokus pada pencegahan kasus baru melalui pemenuhan kebutuhan protein dan zat gizi mikro selama fase embrio dan janin. Program ini dikenal sebagai SIPAMANDAR PENTING, yang merupakan akronim dari berbagai langkah kolaboratif seperti pemberian susu, intervensi zink, pemberian telur, dan edukasi nutrisi lokal.
Namun, inovasi ini sering kali diabaikan oleh pihak yang memiliki kewenangan, sementara mereka yang memiliki keahlian tidak diberi kesempatan untuk mengimplementasikannya. Artikel ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antar-stakeholder dan pendekatan berbasis data untuk memastikan keberhasilan program.
Disamping itu adanya perubahan fokus intervensi stunting di Indonesia, khususnya terkait dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, sasaran intervensi stunting tidak lagi hanya berpusat pada 1000 HPK, tetapi diperluas mencakup kelompok lain seperti remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak usia 0-59 bulan.
Pendekatan ini bertujuan untuk mengatasi stunting secara lebih komprehensif, tetapi juga mendapat kritik karena dianggap kurang fokus pada pencegahan kasus baru. Beberapa ahli menyoroti pentingnya fase kritis seperti masa praembrio dan embrio untuk membangun tinggi badan potensial, yang sering kali terabaikan dalam kebijakan baru ini.