Mohon tunggu...
Tyo Prakoso
Tyo Prakoso Mohon Tunggu... Penulis -

Pembaca dan perajin tulisan. Gemar nyemil upil sendiri dan berkegiatan di kedai literasi @gerakanaksara [http://gerakanaksara.blogspot.co.id/], dan penjual buku di Kedai Buku Mahatma [https://www.facebook.com/kedaibukumahatma/]. Surat-menyurat: tyo.cheprakoso0703@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adakah Pahlawan Bermuka Buruk Rupa?

26 Mei 2016   08:54 Diperbarui: 26 Juni 2016   00:08 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: archive.ivaa-online.org

Oleh: Tyo Prakoso

—Untuk  Ia yang enggan kusebutkan namanya; 

“Kami tidak ingin mengancammu, Bung.” Pemuda ceking berkacamata itu sesumbar. “Tapi revolusi sekarang ada di tangan kami dan di bawah kekuasaankami. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…” 

“Lalu apa?!” umpat tetua yang mengenakan peci. Diskusi dini hari di desa terpencil di utara laut Jawa itu makin panas. Sekerumunan anak muda berhadap-hadapan dengan dua tetua, berpakaian safari dan peci, seorang perempuan dan bayi laki-lakinya di gendongan. 

“Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menuruti kemauan kalian,” tetua itu menatap tajam pemuda ceking, yang menjadi ketua kerumunan anak muda itu. Pemuda itu terdiam. Ia berhadapan dengan ikon perjuangan rakyat. Ikon yang kerap disebut kolabolator dan anjing Jepang.

Kita tahu, diskusi-dini-hari itu pada 15 Agustus 1945 di Rengasdengklok, 74 km dari Jakarta. Pemuda ceking itu Wikana, bersama kawan-kawan pemuda revolusionernya; Sukarni, Chairul Saleh, Aidit, Lukman, dan sejumlah pemudalainnya; untuk menculik para tetua—Soekarno dan Hatta—yang dinilai lamban dan ogah-ogahan perihal revolusi Indonesia, setelah mereka mendengar kabar Jepangtelah menyerah dari sekutu pasca tanggal 8 dan 9 Agustus kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Binasa.

“Apabila Bung tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah,” kata Wikana. 

“Ini leherku!” Mendengar ancaman itu Bung Karno naik pitam. “Seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”

Sejarah mencatat, tak ada (pengumuman) revolusi di Rengasdengklok. Sebabrevolusi Indonesia adalah sebuah siasat yang cerdik antara pemuda dan tetua;yang seringkali keduanya tidak menyadarinya. Pembacaan proklamasi dilaksanakan di Jakarta pada pukul 10 pagi lewat 5 menit “dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” pada “17-08-1945” atas nama Bangsa Indonesia diwakili “Soekarno-Hatta”, lalu dilanjutkan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan pengibaran bendera pusaka merah-putih yang dijahit oleh istri Soekarno pada tiang bambu yang dicari beberapa jam sebelumnya, sudah itu saja; revolusi yang teramat sederhana—bila tak elok disebut seadanya.

Bagi saya, lokomotif-sejarah Indonesia berulang kali ditarik oleh semangat dan daya-juang angkatan muda. Dalam laju lokomotif itu benturan antara angkatan muda dan tua sering tak terhindarkan. Tapi pertama-tama angkatan muda berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri; bertiwikrama pada sejarah hidupnya yang belum-seberapa dengan sejarah di-luar-dirinya yang dibacanya; pada titik inilah dikotomi antara membaca sejarah dan menciptakan sejarah dimulai; Pemuda tidak hanya ingin membaca sejarah, tetapi juga menciptakan sejarah. Dengan cara pandang seperti itulah kita bisa memahami episode sejarah Rengasdengklok dan mengerti mengapa pemuda selalu menjadi poros sejarah Indonesia; lagian, percayalah,culik-menculik kerapkali menjadi pelumas bagi lokomotif sejarah Indonesia; 1912,1928, 1934, 1945, 1948, 1965, 1972, 1994, 1998, 2004 dan ... entah berapa banyak lagi deretan angka-angka itu.. 

Saya syak-wasangka; jika pemuda artinya melawan, dan melawan kerap diasosiasikan dengan kepalan tangan yang meninju langit dan suara lantang yang bersahutan menyeru kebenaran, maka sikap Soekarno terhadap Wikana-cs di Rengasdengklok itu ialah penyebutan lain dari apa yang kita sebut dengan ‘revolusi’; sebab, seperti pendapat Pram, Soekarno (dan Hatta) adalah satu-satunya orang yang memerdekakan sebuah bangsa tanpa ada darah setetes pun yang tumpah. Saya rasa, maksud Pram adalah pembacaan Proklamasi 17 Agustus dan rapat raksasa19 September 1945; dua peristiwa yang menunjukkan bahwa Indonesia merdeka melalui usaha dan upayanya sendiri. Dua peristiwa itulah pertumpahan darah tidak terjadi. Meskipun kita tahu, sebelum dan sesudah dua peristiwa itu darah tumpah di mana-mana. Di titik inilah perbedaan mendasarkan revolusi Indonesia (yang dimulai dengan proklamasi pada 17 Agustus 1945) dengan revolusi bangsa-bangsa yang lain di dunia. Revolusi Indonesia adalah hasil siasat politik yang tergesa-gesa antara pemuda dan tetua. 

Mungkin betul, sejarah kerap hanya mencatat ia yang beramai-ramai bersuara keras dan lantang menyerukan kebenaran, sembari menepuk dada dan meninju langit. Diam-diam kita berharap menjadi heroik. Heroik sejak dalampikiran. Karena pada dasarnya—seperti Wikana-cs—menjadi heroik adalah upaya menciptakan sejarah; untuk kemudian dicatat dan dibaca oleh generasi selanjutnya. Kita berlomba menasbihkan diri sebagai hero. Saya rasa itu sah-sahsaja. Sebab sudah menjadi naluri manusia untuk mengingat dan mengenang; bukankah upaya menciptakan sejarah adalah usaha untuk tetap diingat dan dikenang?

Maka menjadi pecundang adalah kutukan dan nasib yang paling sial dan dipanggul masing-masing; sebab—seperti larik puisi Chairil, bahwa “nasib adalah kesunyian masing-masing”. Kemungkinan untuk dicatat sejarah tipis. Ia abadi menjadi generasi yang hanya membaca sejarah—tanpa pernah menciptakan sejarah, dan dicatat sejarah untuk kemudian dibaca generasi selanjutnya. Mungkin memang begitulah balada seorang pencundang.

Meragukan kebenaran, mencintai kesepian, bersuara perlahan dan terkadang lirih, hingga meyakini bahwa perjuangan adalah upaya melawan kedhaifan diri-sendiri ialah sehimpun kepecundangan yang mesti-kudu-harus ditertawakan; sebab, sekali lagi, sejarah terlalu nista untuk mencatat hal seperti itu. 

Sampai di sini saya ingin mengakhiri dengan sebuah tanya; adakah pahlawan bermuka buruk rupa? 

Tentu maksud saya, “muka” bukanlah dilihat sekedar organ tubuh yang menempel. Tetapi, seperti larik puisi Chairil yang lain; “Ini muka penuh luka|| siapa punya?” bahwa “muka” adalah representasi sebuah identitas—meminjam metafora F Budi Hardiman “sesiung bawang yang berlapis-lapis—manusia; pada “muka” berbagai pikiran-perasaan-pengalaman-yang-mampir-di-tubuh kita tercandra, di titik inilah mengapa identitas manusia berlapis-lapis; dan “muka” tak pernah kita bisa definisikan secara an sich tanpa mendudukan dengan konteks sosial-sejarah yang melingkupinya. “Muka” adalah Phainomenon—dalam istilah Heideger—yang di dalamnya melingkup realitas dan nilai-nilai yang tercandra. Akhirnya, usaha untuk memahami ‘baik-buruk’, ‘bagus-jelek’ dan sebagainya “muka” adalah cara menyingkap pengalaman di baliknya yang berkelindan dengan kontekssosial-historis. Pada kondisi seperti itulah pertanyaan adakah pahlawan bermuka buruk rupa menjadi perlu. Sebab, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggal belang, dan manusia mampus meningalkan ingatan dan kenangan... dan sialnya, ingatan dan kenangan kita seringkali menjadi sumir dan terdistorsi. Ingatan dan kenangan adalah bahaya,sebab mengingat dan mengenang artinya yang-politis.

Tapi, yang jelas, saya lebih senang “muka” Soekarno yang diperankan AryoBayu ketimbang Anjasmara… kalau anda? ■  @cheprakoso

Jatikramat, Mei 2016

 

*TyoPrakoso, prosais, mahasiswa sejarah UNJ, bergiat di komunitas literasi @gerakanaksara Rawamangun. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Bussum dan Cerita-cerita yang Mencandra (2016).

**Tulisan ini pertama kali ditayangkan DISINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun