Mohon tunggu...
Mustyana Tya
Mustyana Tya Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis, jurnalis dan linguis

Seorang pejalan yang punya kesempatan dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Gempa Lombok Mengguncang Hati

19 Januari 2021   11:23 Diperbarui: 19 Januari 2021   11:30 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Undangan liputan ke Lombok datang di saat yang tepat, ketika rindu perlu segera diretas. Padahal izin belum dikantongi, tapi bukan saya namanya kalau menyerah begitu saja. Segala cara saya lakukan untuk membujuk sekalian merajuk pak bos agar diizinkan ke Lombok yang baru saja diguncang gempa. Selain rindu, ada rasa penasaran yang sangat untuk melihat korban dan sisa gempa dahsyat di sana. 

Maka berhasillah saya mengantongi izin meski saat itu badan saya tak terlalu fit untuk melanjutkan dinas luar kota sehabis Kudus. Awalnya kepadanya saya mengaku ragu bisa ke Lombok karena sakit hingga sampai di sana saya mengirim shareloc untuk menyakinkannya bahwa saya sudah di Lombok. Tapi sayang dia tidak bisa menemani di hari pertama saya sampai karena bekerja. 

Sesampai di sana kami dibawa ke posko bantuan yang merupakan bekas markas TNI, di sini serba berantakan dan di bagian belakangannya ada landasan untuk heli yang bertugas memasok bantuan. Setelah ditunggu beberapa lama, ternyata narsum kami tak kunjung datang. Akhirnya memutuskan langsung ke hotel sebelumnya ngebaso dulu.

Malam harinya sudah ada makan malam di salah satu restoran ternama di sana, kami interview keroyokan dengan kepala cabang di sana. Semua soal mengatasi mati listrik berikut pemulihannya. Ternyata dari situ kita tahu meski para pekerja masih dilanda trauma mereka tetap harus bekerja memulihkan listrik. Bahkan sampai-sampai mereka berkantor di luar gedung saking takutnya. Sedih ya. 

Esok pagi kami berangkat ke daerah Lombok Timur. Dekat dari Senggigi, di sana langsung dibuat kaget karena acara pemberian bantuan dilaksanakan di depan gedung mereka yang porak poranda. beberapa bagian gedung memang masih utuh namun gedung di depannya benar-benar tidak dibereskan sama sekali. atap runtuh, bingkai berjatuhan dan sebagainya. Bergidik ngerih. 

Ternyata dari sini kami harus bergeser ke beberapa tempat. Pertama, ke kamp pengungsian yang terdiri dari terpal-terpal. Panas membara langsung terasa betapa mereka kesusahan apalagi anak-anak dan ibu hamil. Sedih akutuh. Langsung kami blusukan kemana-mana, saya sendiri ke tempat ibu-ibu yang baru aja menjalani proses persalinan, kasihan kan babynya. Tapi yang tak kalah super ya tenaga medis di sini. Mereka bahkan membantu lahiran saat gempa susulan datang, kebayang dong ngerinya gimana. Tapi mereka gak pernah ngeluh meski mereka juga korban gempa. Lucunya saat ngebantu kelahiran mereka gak ngerasa ada gempa cuma dengar orang-orang teriak. alhamdulillah gempanya untung ga gede-gede amet jadi mereka ga apa-apa. 

 Lagi-lagi kami harus bergeser, kami yang belum makan siang ternyata harus masuk lagi ke pelosok. Tepatnya di Tanjung. Di sini jalanan rusak parah dan kami harus naik motor menanjak untuk bisa ke desa di atas sana. kebayang dong bantuan ke desa itu gimana. Pasti sulit banget. Dari sini mobil kami harus meneruskan perjalanan dengan sepeda motor diantar bidan desa. Sebabnya mobil tidak bisa naik ke atas. Ada motor trail yang membuat saya kepengen banget naik pakai itu. Tapi keburu diserobot sama dokter cantik yang usut punya usut ternyata merupakan bagian dari gengnya Jesica Iskandar. Saya awalnya kagum sama dia sampai bela-belain datang ke sini, meski sebenarnya datang lebih ke mantau daripada meriksa pasien. 

Kocaknya dia ternyata bawa team sekalian buat vlog dia, jiah ngaco nih orang. Sebenernya masih gue liatin aja tuh tingkahnya. Sampai akhirnya pas dia serobot motor trail yang saya take tadi, trus dia terjungkal jatuh dan jadi ramai pembicaraan orang-orang. Saya buru-buru sembunyikan senyum senang saya (jahat banget sumpah) wkwkwkw... 

Senyuman saya juga harus segera ditepis saat saya sampai di pusat pengungsiaan, sekelompok warga yang rumahnya hancur harus tinggal di dalam tenda seadanya yang mereka bangun, Miris. Tetapi memang mereka sudah dasarnya ramah, mau susah bagaimana pun tetap saja baik. Jadi ceritanya kami penasaran dengan salah satu buah di sana, dan mereka pun dengan baiknya menuntaskan rasa penasaran kami. Sambil tersenyum mereka tak henti2nya tertawa bersama kami. Tapi luka itu memang belum sembuh. 

Dari sini saya bersama sekelompok dokter memberikan penyuluhan dan satu persatu mengantre untuk diperiksa. Saya pun memotret ragam ekspresi mereka saat diperiksa dan kaget karena tiba-tiba teman-teman saya menghilang. Karena takut berita bobol maka saya mencari mereka ke sana ke mari tapi tak kunjung ditemukan. Saya pun tak bisa menghubungi mereka karena tak ada sinyal. Yah masa saya ditinggal. 

Sambil mencari mereka saya pun mencari tempat salat, seseorang pemuda mengantar saya ke tempat salat warga. Saya pikir akan ada musola ternyata mereka salat di dalam tenda yang sudah dibentuk jadi musola dadakan. Padahal di sebelahnya ada masjid yang bagus namun bangunannya sudah sedikit miring. Warga bilang mereka takut untuk salat di masjid itu. Zuhur itu, saya untuk pertama kalinya salat di dalam terpal dengan kondisi panas dan bersama-sama dengan korban gempa. Hati saya hancur dan saat sujud saya panjatkan doa terbaik untuk mereka agar diberi kesabaran yang lebih dan lebih lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun