Mohon tunggu...
Tyas Maulita
Tyas Maulita Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Konten

Penulis konten untuk web, blog, dan fanspage media sosial sejak 2018.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus DH, Jangan-jangan Saya Juga Begitu

10 Oktober 2017   10:05 Diperbarui: 10 Oktober 2017   10:21 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Klaim Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral TU Delft (pengakuan sebelumnya, dia adalah asisten profesor bidang aerospace) tentang prestasinya dalam bidang aerospace, proyek roket TARAV7s, dan penelitian berjudul Lethal Weapon in The Sky, kemudian diklarifikasinya sendiri, lewat pernyataan tertulis, dalam situs Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Delft.

Tak sampai hitungan jam, khalayak media sosial menguliti kesalahan DH. Caci maki dan kutukan pun dijatuhkan terhadap pria yang sempat dijuluki the next Habibie ini.

Antara kebohongan yang diakuinya, tentang manipulasi cek hadiah (yang diunggahnya dalam media sosialnya) dalam kompetisi riset teknologi antarlembaga penerbangan dan antariksa seluruh dunia, di Cologne, Jerman, yang sebenarnya fiktif, asal beasiswa S2 nya yang bukan dari pemerintah Belanda, melainkan Depkominfo, klaim tentang statusnya sebagai satu-satunya orang non Eropa yang berada di ring 1 teknologi European Space Agency (ESA), dan sederet kebohongan publik lainnya, yang cukup mencengangkan.

Membaca serangkaian berita dan analisis pakar mengenai fenomena DH hari ini, saya sendiri berpendapat, bahwa kita pun berpotensi menjadi DH dalam bentuk yang lain.

Dewasa ini tampilan citra di ruang publik, dilihat penting untuk di-blow up. Siapapun bisa terjangkiti penyakit ingin dianggap 'wah'. Dari segi harta, prestasi, jabatan, maupun kedekatan dengan orang-orang penting.

Mungkin masih teringat dengan selebriti cetar membahana yang berfoto dengan jet pribadi, yang pernah diklaim miliknya, remaja fenomenal yang mempublikasikan tulisan-tulisan yang ternyata bukan karyanya, dan prestasi istri bos First Travel di NYFW yang rumornya karena dongkrakan dana.

Kalau ditarik benang merah, rasa-rasanya semua itu polanya sama, yakni keinginan tampil mentereng di muka publik.

Sekarang jangan jauh-jauh lagi saya mengajak pembaca mengorek kepalsuan mereka. Sebab, malah jangan-jangan saya pun sudah sedikit-sedikit mengidap penyakit ingin dianggap 'wah' seperti itu. Contohnya, ada sesekali, saya ditugaskan menjadi moderator dalam seminar. Tapi hebohnya foto-foto pakai mikrofon, mengalahkan pembicara. Berfoto dengan berkalung kamera canggih, mejeng di belakang kemudi mobil orang, pose bersama pejabat atau tokoh, dengan caption yang tidak menjelaskan aktivitas sebenarnya, ketika mengunggah ke media sosial. 

Iya sih, medsos milik pribadi, belum sampai tahap klaim macam-macam di media massa. Tapi saya pun harus hati-hati, karena kepalsuan besar itu, selalunya dimulai dari yang kecil-kecil dahulu. Dari ekspektasi publik yang ketinggian, hingga menyebabkan kita malah jadi ketagihan menampilkan kepalsuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun