Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tanjung Kelana

8 September 2021   17:59 Diperbarui: 8 September 2021   18:12 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau tidak pernah memerhatikan bagaimana tanjung itu tumbuh megar, berbadan kekar. Otot kayunya bermunculan, coklat kehitam-hitaman, khas pemain tinju yang sering kau lihat di layar datar.

Daunnya saling bertumpuk: hijau, kuning, hijau kekuningan, coklat, kuning kecoklatan, layu, lapuk, membusuk bersama ratusan semut, kecoak, cita-cita masa muda, obsesi para lansia, janji kepala daerah sebelum pilkada, sumpah para maling yang berada dalam lembaga anti maling. . .

Adalah sekolahmu, di mana tanjung-tanjung itu berbaris dalam pola. Mengelilingi kelas-kelas, mengelilingi lapangan.

Kau sering kali bersandar di bawahnya. Sesekali sambil melihat awan. Lain kali sambil melihat hasil ujianmu yang berhias donat: tanpa meses, tanpa selai, tanpa lubang; hanya sebuah lingkaran, dibuat dengan pena merah.

Di bawah tanjung, kau merasa damai. Seperti anak kucing yang berada dalam peluk sang induk. Sayang, kau bukan anak kucing; bukan pula peranak kucing.

Peluk terakhir yang kau dapat datang dari karung beras. Meski tak hangat dan sedikit keras, kau tetap menyambut peluknya, dan bahkan memanggulnya dengan penuh cita. Dari truk besi ke lapak-lapak pedagang, ke tukang-tukang kelotong, ke saku para cukong.

Upah panggul sering kau gunakan untuk mengganjal perut. Sesekali dengan nasi tempe, beberapa kali dengan gorengan tempe. Beras mahal, begitu kata orang, padahal kau bisa saja mencurinya ketika sedang berpelukan.

Sehari lalu kepala sekolah menemuimu di bawah tanjung. Beliau berkata, nilai ujianmu sudah kelebihan donat. Lantas kau berpikir, mengapa tidak dijual kalau begitu. 

Karena tidak pakai meses, tidak pakai selai, tidak berlubang. Donatmu hanya sebuah lingkaran, dibuat dengan pena merah, jelas kepala sekolah dalam pikirmu.

"Kau harus lebih giat belajar, Jung," sahut kepala sekolah betulan, kali ini bukan dari kepalamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun