Saya sedang menjumlahkan angka-angka ketika mendengar suara ketukan. Badan pintu sudah uzur. Dinding penopangnya hampir luruh. Sekali ketuk, satu ruang ikut gemetar. Lebih-lebih rumah ini hanya memiliki satu ruang. Maka ketika ketukan berulang untuk yang ketiga, saya bergegas membuka.
Seseorang berdiri di sana. Kulitnya hangus, terpanggang sinar matahari. Dadanya bidang, punggungnya tegap, ototnya muncul satu dua. Khas seorang perwira yang saya temui di buku pelajaran. “Salam, bapak ada?”
Saya menggeleng. Satu, saya pantang memberi informasi kepada orang yang tidak dikenal. Dua, karena bapak memang tidak ada.
Orang itu mengangkat sebelah alis. Pertanda curiga.
Saya berganti mengangkat alis. Berharap ia tahu, bahwa saya juga menaruh curiga.
“Bapakmu maling kopra!”
Tapi, bapak bukan maling. Begitu kata bapak ketika terakhir kali disantroni polisi. Tangannya diborgol. Napasnya terengah. Ia berusaha meraih saya yang sesenggukan, meski akhirnya gagal.
"Kopra itu milik bapak, bapak yang nanam," ucap saya meniru kalimat bapak yang saat itu berpamitan di kantor polisi. Saya ditinggal sendiri. Makan dan minum dari belas kasih tetangga. Tidur karena besok harus sekolah.
“Tapi bukan kopra di kebun seberang,” tandas orang itu cepat. Secepat kabar burung yang mewartakan bapak telah masuk jeruji besi.
Namun, saya tidak tahu seberang mana yang dimaksud. Dulu, Cak Dan pernah berkata bahwa ibu saya pergi ke negeri seberang. Selumbari, Yuk Sri berpesan hati-hati ketika menyebrang. Dan baru semenit lalu, buku matematika meminta saya menghitung sudut yang berseberangan.
Saya akhirnya menggeleng. Bukan untuk mengelak atau menolak, melainkan murni karena ketidakmampuan saya memahami maksud dari pernyataan.