Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen - Bapak (Bukan) Maling

24 Januari 2021   10:30 Diperbarui: 24 Januari 2021   10:55 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.medioku.com

Saya sedang menjumlahkan angka-angka ketika mendengar suara ketukan. Badan pintu sudah uzur. Dinding penopangnya hampir luruh. Sekali ketuk, satu ruang ikut gemetar. Lebih-lebih rumah ini hanya memiliki satu ruang. Maka ketika ketukan berulang untuk yang ketiga, saya bergegas membuka.

Seseorang berdiri di sana. Kulitnya hangus, terpanggang sinar matahari. Dadanya bidang, punggungnya tegap, ototnya muncul satu dua. Khas seorang perwira yang saya temui di buku pelajaran. “Salam, bapak ada?”

Saya menggeleng. Satu, saya pantang memberi informasi kepada orang yang tidak dikenal. Dua, karena bapak memang tidak ada.

Orang itu mengangkat sebelah alis. Pertanda curiga.

Saya berganti mengangkat alis. Berharap ia tahu, bahwa saya juga menaruh curiga.

“Bapakmu maling kopra!”

Tapi, bapak bukan maling. Begitu kata bapak ketika terakhir kali disantroni polisi. Tangannya diborgol. Napasnya terengah. Ia berusaha meraih saya yang sesenggukan, meski akhirnya gagal.

"Kopra itu milik bapak, bapak yang nanam," ucap saya meniru kalimat bapak yang saat itu berpamitan di kantor polisi. Saya ditinggal sendiri. Makan dan minum dari belas kasih tetangga. Tidur karena besok harus sekolah.

“Tapi bukan kopra di kebun seberang,” tandas orang itu cepat. Secepat kabar burung yang mewartakan bapak telah masuk jeruji besi.

Namun, saya tidak tahu seberang mana yang dimaksud. Dulu, Cak Dan pernah berkata bahwa ibu saya pergi ke negeri seberang. Selumbari, Yuk Sri berpesan hati-hati ketika menyebrang. Dan baru semenit lalu, buku matematika meminta saya menghitung sudut yang berseberangan.

Saya akhirnya menggeleng. Bukan untuk mengelak atau menolak, melainkan murni karena ketidakmampuan saya memahami maksud dari pernyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun