Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Abadi, Sapardi

21 Juli 2020   13:04 Diperbarui: 21 Juli 2020   15:04 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: gramedia.com

Seperti sudah menjadi ciri khasnya, Sapardi kerap kali memakai metafora alam dalam menyampaikan makna dalam puisinya. Hujan, pohon, bunga, batu dan angin adalah salah satu rangkaian yang sering dipakai Sapardi. Hal ini tertera jelas dalam puisi Hujan Bulan Juni, Hatiku Selembar Daun, Kuhentikan Hujan, dan masih banyak lainnya.

Hal ini pula yang membuat Sapardi dikenal sebagai sosok yang mampu menerjemahkan bahasa-bahasa alam. Ya, bagi Sapardi alam adalah sumber inspirasi yang tak pernah ada habisnya.

Alam bukan hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi alam juga telah mengajarkan cara-cara untuk tetap tinggal.

Keabadian dapat dicari

Sebagai makhluk fana, manusia sering kali mengelu-elukan keabadian. Berbagai cara ditempuh demi hidup abadi. Begitu pula dengan Sapardi, dalam salah satu puisinya beliau bahkan menyebutkan bahwa yang fana adalah waktu, kita abadi. 

Ya, bagi Sapardi keabadian bisa dicari sebelum manusia itu benar-benar pergi. Hal ini tertuang secara tersirat dalam salah satu puisinya yang berjudul Pada Suatu Hari Nanti.

Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari (Sapardi Djoko Damono, 1991)

Pada Suatu Hari Nanti adalah salah satu puisi favorit saya dari Sapardi. Dalam puisi tersebut, Sapardi seolah menegaskan bahwa walaupun nanti jasadnya tidak ada lagi dan suaranya tidak terdengar lagi, kehidupannya tidak lantas berakhir. 

Kalimat kau tak letih-letihnya kucari seolah menyiratkan bahwa Sapardi terus mencari cara untuk tetap hidup, salah satunya adalah dengan terus membuat karya yang dikenang banyak orang.

Terbukti selama hidupnya, Sapardi telah menulis lebih dari 40 buku. Beberapa puisinya dimusikalisasi hingga membuahkan beberapa album yaitu Gadis Kecil (2006) dan Becoming Dew (2007). Beberapa lagi diadaptasi menjadi komik, salah satunya oleh Mansjur Man yang membuat adaptasi komik dari puisi Hujan Bulan Juni.

Sapardi juga tidak segan untuk berkolaborasi dengan penulis yang berada jauh di bawah umurnya. Hal ini terlihat dari penerbitan buku Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang yang ditulisnya bersama penulis muda kelahiran 1998, Rintik Sedu. 

Sayangnya pada 19 Juli 2020 kemarin, sastrawan yang dijuluki sebagai penulis lintas generasi ini harus berpulang menghadap sang Ilahi. Kepergiaannya menggoreskan duka mendalam bagi para penikmat sajak dan puisi. Ribuan ucapan duka turut mengantarkannya menuju tempat peristirahatan terakhir di Gritama, Bogor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun