Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tempat Matahari Tidak Pernah Terbenam

25 April 2020   15:40 Diperbarui: 25 April 2020   15:46 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: https://www.evowrap.co.uk/

Saya ingin pergi ke tempat di mana matahari tidak pernah terbenam. Saya ingin menghitung kupu-kupu yang terbang di kuncup bunga sepanjang hari. Saya ingin berlari mengejar burung dengan telanjang kaki. Hingga lelah, lalu tertidur pulas.

"Jangan kesana, nak," wanita itu berkata suatu kali.

Akhir-akhir ini ia memang sering berkata jangan, seperti ketika saya hendak membelikannya obat supaya batuknya kunjung sembuh. Simpan uangmu untuk sekolah, begitu lanjutnya. Tapi sudah dua hari saya tidak sekolah. Saya tidak tega melihatnya terseok-seok hanya untuk mengambil segelas air putih.

Namun sebelum itu, wanita itu juga berkata jangan ketika saya membolos. Kamu harus jadi anak pintar, sahutnya. Saya tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Saya terus mematung, hingga ia jatuh sekali lagi dan saya membantunya berdiri.

Saya sudah lelah dengan kata jangan. Maka malam ini, saya tidak peduli lagi. Saya mengepak apa yang bisa saya bawa dalam ransel. Baju, kaus kaki, jus jeruk. Saya tidak tahu apakah tempat di mana matahari tidak pernah terbenam berudara hangat atau panas. Bisa jadi panas membakar karena mataharinya tidak pernah terbenam. Atau justru hangat dan riang karena matahari selalu membawa keceriaan. Jadi saya rasa penting untuk membawa kaus kaki.

Ah, saya juga suka jeruk. Saya membawa jeruk kemana-mana. Jika ada waktu, saya memerasnya untuk dimasukkan ke dalam botol. Orang-orang menyebutnya jus jeruk, sedangkan saya lebih suka menyebutnya air jeruk. Kata orang, jus jeruk sangat bagus untuk penyembuhan. Kebetulan tadi saya tidak sengaja melukai hati. Mungkin dengan minum jus jeruk, hati saya akan segera sembuh.

Saya melangkah sembari membuka daun pintu dengan amat pelan. Tenang, wanita itu tidak akan mendengar. Saya sudah pastikan. Saya rapatkan mantel serta selendang untuk menutupi tubuh dari udara malam. Lalu saya berlari.

Saya berlari ke tempat di mana matahari tidak pernah terbenam. Saya tidak sabar untuk menyaksikan kuda yang berkejaran di hamparan sabana. Saya tidak sabar untuk melihat lebah yang berlomba menyerbuki bunga, atau sekedar menatap langit biru yang luasnya tak akan pernah berujung. 

Saya tidak ingin malam datang, karena malam telah merenggut satu-satunya harta yang saya punya. Bukan tangan terampil yang sering mengepang rambut saya ketika hendak sekolah. Bukan pula dekap hangat yang sering saya dapati sebelum tertidur. Melainkan rasa damai yang menyelingkupi bangunan tua itu sehingga terasa seperti rumah.

Mungkin besok lusa saya akan menyisir rambut sendiri, mengerjakan PR sendiri, serta menulis surat izin sendiri ketika saya sakit. Saya akan tetap sekolah agar saya pintar seperti nasihatnya. Namun sepertinya saya akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di pasar. Saya butuh uang untuk membeli makan.

Selain itu, saya juga ingin membeli jeruk. Dan ketika jeruk saya sudah banyak, saya akan kembali ke tempat ini, tempat di mana matahari tidak pernah terbenam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun