Matahari memanggil-manggilku lewat celah jendela kayu. Dedaunan bergemerisik, begitu juga dengan ilalang yang tampak menaruh perhatian pada penghuni baru dari gubuk yang sebagian kayunya mulai rapuh.
Kau sombong, Aluna. Keluarlah.
Entah aku yang mengigau, atau matahari benar-benar membisikan kata itu ke telingaku. Aku memandang Mas Bayu yang masih terlelap di kursi tua. Pelarian malam kemarin ternyata bukan mimpi. Aku terbebas. Akhirnya aku bisa melepas jerat dari lubang laknat yang dipenuhi napsu lelaki khianat.Â
Pagi ini masih sama dengan pagi yang terakhir kulihat tiga tahun lalu. Jangan tertawa, aku tidak sedang berbohong. Aluna yang dulu tak pernah mengenal pagi. Baginya, malam adalah dunia impian yang sangat sayang dilewatkan walau hanya seperinchi detik. Baginya, malam layaknya sutra yang siap ia rajut menjadi gaun emas dan pemata menarik.
Tapi, tenang saja. Aluna yang dulu telah mati. Kini, Aluna baru siap bereinkanarsi.
Aku menatap gubuk kecil di bawah jembatan layang megapolitan. Gubuk ini mungkin sudah tidak ditempati sejak beberapa bulan yang lalu. Beberapa atapnya berlubang dan kayunya tampak keropos. Tapi dengan sedikit perbaikan, aku yakin gubuk ini akan jadi tempat singgah yang ideal bagiku dan Mas Bayu.
Padang ilalang yang tersiram matahari pagi menarik perhatianku. Lima menit kemudian, sekantung penuh ilalang dan bunga liar berhasil kukumpulkan. Gundukan tanah telah kubuat sedemikian rupa. Sehingga siapapun yang memandangnya mungkin akan berpikir ini benar-benar sebuah pemakaman.
Dari belakang, seseorang tiba-tiba memeluk dan mengarahkan kedua tangannya untuk menutup mataku. Sesaat jantungku bergemuruh. Bayangan lelaki dengan otot kekar itu masih saja berkeliaran. Namun saat mataku terbuka, aku sadar, aku telah pergi jauh, bahkan sangat jauh dari kehidupannya kini.
"Kau sedang apa, Aluna?" Suara Mas Bayu terdengar lelah di telingaku.Â
"Mengubur diriku yang dulu."
Mas Bayu tertawa kecil. "Katakan padaku, apa aku harus bersedih, atau gembira?"