Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Permulaan Perang

27 November 2018   07:02 Diperbarui: 27 November 2018   07:16 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://surabaya.tribunnews.com

Kaus merah marun yang sudah kupakai sejak dua hari lalu mulai mengedarkan bau tak sedap. Jangan bertanya kapan terakhir kali air menyentuh tubuhku. Aku sendiri mulai lupa di mana letak sabun dan segala anak-pinaknya.

Mataku mulai lelah. Bukan karena bulu mata extension yang terlalu berat, atau eyeliner yang mulai bercampur dengan keringat, melainkan karena tidak berhenti berkedip pada layar laptop yang menampilkan dua potong kata: proposal skripsi.

Sejak semester tujuh, kata "skripsi" memang sudah seperti hantu yang menguntitku kemana saja. Ruang makan, kamar tidur, bahkan kamar mandi. Hal ini tidak hanya terjadi satu, atau dua hari. Melainkan satu semester, dan aku takut masih bisa diperpanjang lagi. Ya, setidaknya sampai togaku aman berada di kepala.  

Bukannya mulai mengerjakan, aku lebih memilih menggigiti kaus yang sebentar lagi akan kujadikan kanebo untuk mengelap jendela. Mungkin dengan begini, inspirasi bisa tiba-tiba datang mengetuk pintu kamarku.

Anehnya, selang dua detik kemudian, seseorang  benar-benar datang mengetuk pintu kamarku. Aku mencoba mengenali bayang yang terbentuk dibalik jendela, sembari diam-diam merapal  agar bukan ibu kost yang datang. 

Hari ini: 26 November, 4 hari menjelang jatuh tempo pembayaran uang kosan, itu berarti ia mulai berkeliling memperingati para hamba sahaya agar tidak lupa membayar apa lagi menunggak.

Namun perasaan tidak enak hati mulai menguar. Bayangan sanggul berbentuk mawar tampak di balik jendela. Juga jepit bunga. Dan kipas tangan berbulu antik. Ya, sudahlah. Siapa lagi memangnya yang akan berkunjung ke kamarku selain ibu kost?

Dengan berat langkah, aku membuka pintu sembari mempersiapkan mental untuk mendengar celotehannya yang lebih panjang dari jalan kenangan. Bagaimanapun juga, mencegah lebih baik dari pada mengobati.

"Eh, Nadia, ibu kira kamu pulang ke rumah. Dua hari nggak pernah keluar kamar."

"Biasa bu, lagi ada projek," jawabku sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. Begitulah ibu kostku kalau kalian mau tahu. Ia suka sekali bermanis-manis sebelum menyuguhkan kopi pahit.

"Wah projek apa nih? Bangun rumah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun