Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rahasia

6 September 2017   07:29 Diperbarui: 16 September 2017   17:17 2196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (weheartit.com)

Seseorang pernah mengatakan bahwa setiap orang pasti menyimpan rahasia. Entah itu memalukan, menyedihkan, atau terlalu membahagiakan untuk diumbar. Katanya, rahasialah yang menjadikan manusia adalah manusia. Atau manusialah yang menjadikan rahasia tetap rahasia. Aku lupa mana yang benar.

Suatu sore, ibu membagi apa yang disebutnya rahasia padaku. Ia ternyata pernah mendapat nilai 0 di ujian matematika hingga membuatnya harus tinggal kelas. Ia tak pernah lagi duduk di depan karena takut gurunya bosan. Ia juga jarang keluar rumah karena malu sama teman dan tetangga. Namun karena itu pula, ia dapat meraih juara nasional di olimpiade matematika. Disenangi guru, disukai teman. Ah, aku mulai ragu menyebut itu rahasia. Seharusnya cerita itu dibagikan di kelas motivasi menjelang ujian nasional.

Selang beberapa waktu, ayah ikut menceritakan rahasia kecilnya. Sewaktu kecil, ia pernah mencuri ayam untuk dijadikan hewan peliharaan. Namun setelah ayam itu tumbuh besar dan siap dijual, si ayam kembali dicuri orang. Lagi-lagi aku ragu menyebut itu rahasia. Seharusnya cerita itu dibagikan dalam buku pendidikan kewarganegaraan pada bab moral, bahwa barang hasil curian akan kembali dicuri pada akhirnya.

Beberapa teman juga pernah membagi rahasianya padaku. Bobi mengatakan bahwa ia pernah mentigakan pacarnya. Fatur bilang ia pernah mengendap-endap ke kantor guru untuk memperbaiki hasil ujiannya. Sedangkan Mei, pernah mengatakan cinta pada satpam sekolah.

Aku tak pernah menyadari kemampuan mengorek rahasiaku sebelumnya. Kurasa ada setetes darah peramal yang mengaliri nadiku, atau sebutir jimat keberuntungan yang mendekam di lidahku. Namun, ini tak pernah berhasil pada gadis berkuncir kuda itu. Rei.

Ia adalah penghuni kursi belakang, yang selalu pulang paling belakang. Bukan karena bodoh, atau ditahan guru karena tidak bisa menjawab soal. Kurasa ia hanya menghindari orang-orang. Enam bulan sekelas dengannya, yang kutahu temannya hanya buku, kursi dan meja.

"Mengikutiku?"

Wajahku merah padam. Rei tahu aku bersembunyi di pohon ini untuk membuntutinya sepulang sekolah. Dan sekarang ia berbalik sambil menatapku dalam-dalam.

"Ini jalan pulangku," kilahku segera.

 Kalau kamu ingat bagaimana tatapan guru ketika menangkap basah muridnya yang menyontek, tatapan Rei lima kali lebih tajam dari itu. Aku tahu ada petir dalam bola matanya. Dan setiap kali ia menatap seseorang, petir itu langsung menyala dan keluar tanpa perlu gelagar.

"Kamu selalu pulang paling belakang," celotehku sambil menyamai langkah Rei yang kembali berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun