Mohon tunggu...
Tutut Setyorinie
Tutut Setyorinie Mohon Tunggu... Akuntan - Lifelong Learner

hidup sangatlah sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya | -Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Delapan Warna

8 Mei 2017   10:38 Diperbarui: 8 Mei 2017   10:55 2370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Na, tahukah kamu kalau warna pelangi ada tujuh?”

Aku mengangguk malas.

Ra, teman kecilku, mempunyai kebiasaan aneh yang lucu: menanyakan jumlah warna pelangi  sebelum memulai bermain. Tak pernah sedikitpun aku terganggu atau meminta Ra berhenti menanyakan pernyataan retoris itu. Ra tetaplah Ra yang apa adanya seperti ia menerimaku sebagai teman yang banyak tingkahnya.

Sore itu, aku dan Ra kembali menghabiskan waktu bersama. Kami bermain di sekitar air mancur di teman dekat rumah. Setiap kali ada anak yang mendekat untuk ikut bergabung, mereka selalu saja mundur setelah melihat Ra.

Aku tak pernah melewatkan waktu untuk menyudutkan anak semacam itu. Dengan nada mengancam yang jelas aku bertanya: mengapa ia kabur ketika melihat Ra. Anak itu hanya menggeleng. Bibir dan tubuhnya gemetar begitu hebat hingga akhirnya ia terlalu lemas untuk menjawab. Anak kedua dan ketiga juga sama. Mereka terlalu takut untuk mengeluarkan sepatah kata sehingga mereka memilih jatuh tak berdaya.

Hari berikutnya, aku mengajak Ra untuk bermain sepeda di lapangan komplek kami. Sejak dulu, kami hanya mempunyai satu sepeda untuk dipakai bersama. Jadilah kami saling berganti untuk memainkannya. Babak pertama, Ra menjadi wasit dan aku pembalapnya. Setelah diberi aba-aba, aku langsung melesat jauh meninggalkan Ra. Gayaku yang dibuat-buat seperti pembalap di lapangan tanding membuat kami tertawa hingga terjungkal.

Selanjutnya, berganti aku yang menjadi wasit dan Ra yang mengendarai. Sejak dulu, Ra tidak begitu mahir naik sepeda. Ia masih belum meraih keseimbangan yang sempurna. Alhasil sepeda yang dinaikinya tak tentu arah, dan aku yang berusaha menjaga keseimbangannya malah ikut jatuh bersama. Sore itu kami lelah tertawa hingga tak sadar bahwa senja telah menyapa.

Terkadang aku merasa bahwa ada satu, dua pasang mata yang mengekori tawa kami. Setengah mati aku berharap bahwa mereka akhirnya datang dan ikut bermain bersama.  Tapi nyatanya sepanjang hari itu sepi. Tak tampak satu orangpun yang melintasi lapangan ini menunjukan hasrat untuk bergabung. Padahal sehari sebelumnya lapangan ini ramai. Bahkan sebelum kami datang, masih ada beberapa orang yang sedang duduk bersantai sebelum akhirnya memilih pulang.

Aku tak pernah mengerti apa yang mereka pikiran. Kami selalu tinggal berpindah, tapi perlakuan yang kami hadapi tetap tak berubah. Aku dan Ra selalu saja dikucilkan. Namun, hanya aku yang tampak keberatan. Ketika orang-orang mendadak kabur ketika melihat kami, aku  yang marah. Ketika orang-orang menertawakan kami, aku yang mengejar dan menjambaki rambut mereka hingga puas. Ketika seseorang dengan terang-terangan mengejek Ra, aku juga yang langsung memukul wajahnya dengan kedua tangan.

Ra tidak pernah mengeluh, walau di seumur hidupnya teman yang ia kenal hanyalah aku. Ra juga tak pernah marah karena sudah dilahirkan dengan satu warna bola mata.

“Na, tahukah kamu kalau warna pelangi ada tujuh?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun