Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Terdampar dan Cerita-cerita Lain", Sedikit Kesaksian

7 Oktober 2016   09:58 Diperbarui: 7 Oktober 2016   10:14 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada mulanya adalah percakapan lewat inbox. 

Saat itu, Bang Thamrin Sonata (TS) meminta saya memberikan komentar untuk sebuah kumpulan Flash Fiction. Kaget, tiada menyangka, setengah percaya. Alhamdulillah, saya masih berdiri stabil dan tidak harus dibantu pegangan tangan Maudy Ayunda. #YangSirikituUrusanmu! 

Sejujurnya, ini pertama kali saya diminta pendapat ringkasnya atas sebuah karya. Dan kedua, saya merasa bukan orang yang tepat. Sedangkan ketiga, sangat bisa jadi komentar dari S Aji hanya akan merusak "nilai puitika" atau juga "nilai ekonomi" karya tersebut. Alasan paling mendasar lain yang terpikirkan saat itu juga adalah saya bukan yang memahami plus terampil dalam tema Flash Fiction, genre yang baru saya coba akrabi sekitar setahun terakhir. Itu pun dikarenakan nekad ikut event dari teman-teman Rumah Pena Inspirasi atau familiar dengan Rumpies The Club (RTC). Kemudian ketika mendapat kiriman buku Matinya Burung-burung: Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin, juga dari teman-teman RTC, dimana karya Octavio Paz dan Gabriel Garcia Marquez juga dimasukkan, saya makin penasaran dan mencoba memahaminya secara otodidak. 

Jadi, saya memang awam lahir batin dengan genre yang satu ini. Genre yang disebut sebagai "pemberontakan narasi ala postmodern" yang katanya suka bermain-main dengan bahasa, tidak tertarik pada ide sentral yang harus jelas dalam cerita, dan tidak suka membebani bahasa dengan petunjuk moral dan sejenisnya. 

Yang membuat saya jatuh hati pada genre ini bukan karena perdebatan filosofis yang bikin eneg itu. Saya tertarik karena "strategi narasi" yang dituntutnya dan efek "menggantung" yang diidap pembaca. Dua kondisi yang bikin kecanduan dua arah, penyusun dan penikmatnya. Biasanya kalau sudah dua arah, maka tidak lagi bertepuk sebelah rasa. Ini yang bikin awet hubungan. 

Jadi, sebagai pemula, saya tidak cukup bersetuju jika Flash Fiction adalah jenis berfiksi yang malas karena memang bikinnya susah. Atau dengan alasan karena efektifitas waktu dan daya dukung teknologi: pembaca sekarang gak suka tulisan panjang di layar gadget! Alasan efektifitas ini sama tidak relevan sebab genre satu ini memiliki akar-akar sejarah dan budaya yang sudah sangat lama dalam dunia sastra Amerika Latin. Ini yang juga dijelaskan oleh Rony Agustinus, si pengumpul kumpulan berjudul Matinya Burung-Burung di atas.

Buku kumpulan Flash Fiction yang dimintakan Bang TS kepada saya agar ikut memberi kesaksian singkat adalah buah kreatifitas Bang Ikhwanul Halim.  Kumpulan yang diberikan judul Terdampar dan Cerita-cerita Lain (Peniti Media, 2016). Materi dari kumpulan ini bersumber dari publikasi-publikasi penulis di Kompasiana.

Dengan buku Terdampar saya kini memiliki tambahan gizi dalam menekuni model-model strategi narasi dalam Flash Fiction dari salah satu Fiksianer Jempolan di Kompasiana. Karena itu juga, sebagai yang ngasih komentar, saya justru merasa terlalu disanjung. Pemula kok berani-beraninya ngasih komentar atas karya, duh!

Namun jika boleh berkomentar, bagi saya semua cerita sangat pendek ini lihai sekali memindahkan imajinasi dan pesan dibalik cerita. Tema-temanya pun digarap dengan olah strategi diksi yang mulus dan, tentu saja menghentak. Ada kegetiran dan humor. Ada absurditas juga daya juang, pengkhianatan dan cinta. Kesadaran pembaca, dalam kesaksian saya, sesudah membaca kumpulan Terdampar ini, dibawa menyibak tabir pengalaman manusia yang seringkali terlihat berulang dan klise di mata lahiriah.

Kalau kata Kang Pepih di pengantar, untuk membaca karya ini butuh usaha keras dan cerdas. Kalau Prof Pebrianov yang ngasih pengantar, paling tak jauh-jauh, ia akan bilang butuh lepas celana (kategori) dengan sungguh-sungguh.

Pada Terdampar-nya Bang Ikhwanul Halim, saya hanya harus "menyerap benar segala kualitas yang dihamburkannya" sebanyak mungkin. Hanya ini yang bisa saya lakukan. Bukan mengomentari kekuatan dan kelemahan kumpulan Flash Fiction tersebut. Aku mah pemula fiksi atuh, bukan politisi karbitan, tahu diri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun