Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sampit - Mendawai: Kisah Pelayaran Off-Road

28 September 2014   07:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:13 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_362173" align="alignleft" width="600" caption="Duduk berjejer di dalam perahu jenis Ces"][/caption]

Kalimantan Tengah, awal bulan Agustus tahun 2014.

Kami berangkat jam 9 pagi dari dermaga Sampit. Pagi itu cerah, langit hampir bersih. Matahari lumayan bersinar menyengat. 2 minggu sebelum berangkat, ada kabar kalau di dermaga Sampit, dinas perhubungan mengeluarkan peringatan akan cuaca buruk. Ada pengaruh dari arus laut pantai Jawa yang ikut mempengaruhi pola arus sungai. Peringatan ini dikeluarkan sesudah ada perahu jenis Kelotok yang coba untuk menyebrang dan melalui laut. Kabarnya 5 orang penumpangnya meninggal dunia.

Tapi Alhamdulillaah, kala kami berangkat itu, angin memang bertiup kencang. Arus air sungai agak bergelombang dan pelayaran lancar-lancar saja.

Masalahnya kini bukan lagi gelombang, tapi, kemarau yang membuat permukaan air sungai menyusut jauh. Karena itu setiap klotok yang akan melewati terusan/kerokan Hantipan yang menghubungkan DAS Katingan dan DAS Mentaya harus transit di desa Hantipan, lalu mengganti angkutan dengan perahu jenis ces. Orang lokal menyebutnya dengan melangsir.

Terusan atau kerokan Hantipan merupakan rute terdekat yang menghubungkan DAS Katingan di Kabupaten Katingan dan DAS Mentaya di kabupaten Kota Waringin Timur. Di musim sebelum kemarau, pelayaran hanya cukup menggunakan perahu jenis kelotok, dengan daya tampung penumpang lebih banyak, mesin yang lebih kuat, dan waktu tempuh yang lebih cepat. Jika dengan Kelotok, rata-rata waktu tempuh dari dermaga Sampit sekitar 5-6 jam, maka pada musim kemarau yang surut ini, dengan perahu jenis ces, waktu tempuh bisa bertambah 4-6 jam lagi.

Selain itu, ongkos per penumpang juga berbeda. Jika di musim bukan kemarau, dengan sekali pelayaran menggunakan perahu Kelotok, penumpang dibebani biaya Rp. 100.000. Maka pada musim kemarau, dengan 'melangsir', penumpang harus membayar Rp.140.000.

[caption id="attachment_362174" align="alignleft" width="800" caption="Terusan Hantipan yang mengering"]

14118355161196076972
14118355161196076972
[/caption]

Harga mahal ini adalah konsekuensi yang harus dilalui oleh karena di musim kemarau yang panjang, permukaan air di terusan Hantipan yang memiliki panjang sekitar 29 kilometer itu menyusut hingga setinggi betis orang dewasa. Di titik tertentu, bahkan tinggi air bisa hanya setinggi mata kaki orang dewasa. Hanya perahu ces dan kapten yang berpengalamanlah yang mampu menghantar kami menempuh rute menantang ini.

Sebenarnya ada rute transportasi lain yang bisa digunakan, yaitu melalui jalan darat, dari Sampit ke kecamatan Baun Bango. Sesudah tiba di Baun Bango, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menggunakan perahu jenis Kelotok yang melayani pelayaran dari Bau Bango ke Mendawai. Hanya saja pelayaran ini tidak tersedia setiap hari.

Pada ces yang panjangnya sekitar 6-7 meter itu, kami berlima dengan kaptennya. Kaptennya masih muda, mungkin berusia belasan, Sandi namanya. Dengan lima orang di dalam ces itu, ditambah barang-barang, maka beban yang dibawa menjadi lumayan berat. Kombinasi beban berat dan permukaan air yang hampir menyentuh dasar terusan itu, maka pelayaran yang ditempuh seperti sedang menjalani balap mobil di medan off road dalam balapan mobil.

Sandi mengemudikan ces dengan kecepatan sedang. Pada titik yang memiliki kedangkalan paling parah, beberapa kali badan ces tertahan. Kami berempat harus menggoyang-goyangkan badan ces ke kanan dan kiri untuk menciptakan sedikit ruang di dasar kerokan agar baling-baling ces bisa berputar dan badannya melaju perlahan.

Beberapa kali seperti ini : tertahan dan menggoyang badan ces. Tak jarang gas harus ditinggikan oleh Sandi, meraung-raung dan bergerak menembus hambatan lumpur, akar pepohonan dan batang kayu. Hingga di satu titik yang paling dangkal, teknik menggoyang badan perahu tak lagi efektif. Digunakanlah jurus pamungkas.

Turun dari ces dan mendorongnya bersama-sama. Sandi terlalu kecil untuk mendorong kami berempat bersama barang bawaan. Walhasil, sepatu dibuka, celana digulung, penumpang turun, menempuh lintasan lumpur dengan struktur tanah yang mudah amblas. Beberapa kali kaki saya harus terbenam lebih dalam, demikian juga terjadi pada beberapa teman penumpang yang lain.

Kondisi seperti ini bukan lagi kami adalah penumpang yang membayar sewa lalu duduk menunggu perahu didorong sendiri oleh Sandi. Yang mendesak sekarang adalah bersama kita bisa mencapai tujuan. Tak ada kerja sama, maka jangan harap ada pencapaian. Kesetaraan dalam posisi dan pembagian peran menjadi syarat utama keberhasilan 'pelayaran' kali ini. Ditambah lagi, sudah beberapa perahu yang berangkat dari lokasi transit yang sama, dan itu diisi sebagian besar perempuan, mendahului kami.

Hingga akhirnya kami berhasil menembus lintasan off road dan tiba di DAS Katingan. Airnya bergelombang, angin sedang keras-kerasnya seperti di DAS Mentaya. Di depan sana, sekitar 500an meter, dermaga desa Mendawai seperti memanggil-manggil. Perut lapar, badan pegal dan bau lumpur. Pelayaran yang menantang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun