Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menikmati Puisi Jokpin, Catatan yang Terlambat

19 Februari 2016   09:37 Diperbarui: 3 Februari 2020   07:52 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Pinurbo (Jokpin) | galeribukujakarta.com

Terlambat masih lebih baik dari pada tidak menjumpai sama sekali.

Begitulah saya dalam perjumpaan dengan puisi Joko Pinurbo (JokPin). Membaca puisi-puisi JokPin secara terlambat mungkin terkesan sebagai kebodohan di mata mereka yang memang menggulati dunia ini secara serius setiap hari. 

Apalagi jika diperhadapkan dengan kondisi bahwa saya sendiri merasakan secara pelan-pelan dan makin mantap kurungan kejenuhan. Atau lebih tepatnya, mengalami kelesuan imajinatif dalam memperlakukan kata-kata, kenyataan dan makna bukan saja dalam berfiksi tetapi dalam banyak daftar kesaksian yang hendak dituliskan.

Pada posisi kelesuan imajinatif ini, saya menjadi harus bersyukur dan banyak berterimakasih masih mengalami perjumpaan yang terlambat dengan puisi JokPin. Puisi JokPin telah cukup sukses meretakkan kelesuan imajinatif yang makin mantap tadi, bait-baitnya seperti palu yang datang menghancurkan. Ia seolah Nietszche dalam filsafat. 

Ia juga memaksa saya kembali ke tanda tanya besar akan beberapa hal dan semoga juga boleh menjadi pembebas dari rantai kelesuan itu.

Terus, apa yang “bekerja sebagai palu” dalam puisi JokPin terhadap saya?

Sebelum jauh menyusun paragraf, barangkali perlu di-stabiloisasi—jika kata ini bisa mengganti digarisbawahi, hehehe—cerita saya selanjutnya bukanlah sebuah ulasan, bukan hasil analisa, bukan sejenis kajian, bukan, bukan, bukan. Cerita saya hanyalah kesaksian, sedikit ungkap kegembiraan dalam menikmati kata-kata. 

Bersyukur sekali, dalam kegembiraan menikmati puisi JokPin, saya menemukan satu pembacaan “metodis” atas puisi penyair yang tahun 2005 memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award. 

Pembacaan metodis tersebut dilakukan Ignas Kleden, sosiolog yang juga membantu saya melihat “kehendak dekonstruksi” di balik syair-syair Sutardji Calzoum Bachri.

Catatan metodis Ignas Kleden akan saya jadikan rujukan ingatan kala melihat kehendak berpuisi seperti apa yang dilakukan oleh penyair yang lahir tahun 1962 ini. Jadi saya tidak membahas ulasannya, cukup tahu dirilah, levelnya terlalu jauh di angkasa.

Saya kutipkan sedikit dalam amatan Ignas Kleden, JokPin adalah penyair yang sangat terobsesi terhadap tubuh manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun