Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mengenang Puasa Kecil di Tanah Papua

28 Mei 2017   23:29 Diperbarui: 29 Mei 2017   10:15 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi anak-anak, kedatangan bulan Ramadan adalah kedatangan kegembiraan. Kegembiraan yang tidak biasa, tidak selalu terjadi di bulan bukan Ramadan.

Kegembiraan itu adalah rangkaian ibadah bulan suci Ramadan akan berpuncak pada hari dimana ada banyak kue kering, masakan enak dan bermacam jenis di meja, minuman kaleng, dan, jangan lupakan, rangkaian kunjungan ke rumah-rumah. Untuk kegembiraan terakhir ini--kunjungan ke rumah-rumah--suasananya lebih mirip sebagai "perburuan". Perburuan itu adalah mengejar uang recehan atau minuman kaleng yang tidak ada di rumah. Di Jayapura, sekitar tahun 1980-90an, ritus perburuan ini masih sering dilangsungkan. Dan, keberadaan dan kelangsungannya bukanlah monopoli hari raya Idul Fitri. Saat Natalan tiba, kami pun melakoninya.

Bagaimana dengan saat bulan Ramadan itu sendiri? Kegembiraan anak-anak apa yang berkesan?

Ada dua peristiwa gembira di bulan suci yang selalu membekas ketika saya melewatkan masa SD hingga SMP di Jayapura, Papua.

Peristiwa pertama, malam sesudah shalat Tarawih, terlebih ketika besok hari adalah hari libur sekolah. Yakni saat ketika kami, dalam rombongan kecil tentu saja, seusai pulang dari masjid, berjalan ke sebuah terminal sepi yang berada di seputaran pasar lama Youtefa, Abepura. Di terminal tersebut juga telah bergerombol anak-anak dari komplek pemukiman yang lain. Kami lantas berbagi diri dalam grup masing-masing, mengikat sarung di pinggang, memiringkan kopiah, dan menuju sisi tengah terminal yang beraspal mulus dan remang-remang. Walau kebanyakan adalah anak-anak yang pulang Tarawih, ada juga teman-teman non Muslim yang ikut bermain. 

Grup-grup anak-anak itu adalah tim sepak bola dan di antara mereka tak selalu saling kenal. Kami akan berjibaku di atas aspal dalam jumlah menit yang disepakati. Siapa yang kalah akan digantikan oleh grup yang lain, begitu seterusnya sampai ketemu sang juara. Sepak bola terminal ini bisa berlangsung hingga menjelang tengah malam. Pulang ke rumah penuh keringat, tak jarang tertidur dan kesulitan bangun sahur. Kebanyakan bahkan sangat potensial melewatkan makan sahur.  

Entah dari mana idenya dan entah kelompok mana yang memulai, sepak bola terminal hanya berlangsung saat Ramadan tiba. Sepak bola seperti ini juga semacam kontestasi dan konsensus tak tertulis di antara kelompok-kelompok kecil bocah pemain bola dalam menentukan kelompok dari komplek perumahan mana yang terbaik. Sesudah Ramadan berlalu, terminal kembali sepi dan hanya ada uap malam yang sesekali diselingi bau pesing. 

Peristiwa kedua yang merupakan kegembiraan kecil dan selalu masuk dalam daftar yang dinanti-nanti adalah hari sesudah shalat Subuh di masjid. 

Hari ketika Matahari baru merekah di ufuk timur, rombongan yang pulang dari masjid akan memenuhi ruas jalan di sekitar Kotaraja - Abepura. Ruas jalan itu penuh dengan muda-mudi yang bergerombol dalam kelompok-kelompok sebaya.  Suasananya seperti hari yang sekarang ini dikenal dengan Car Free Day di beberapa kota.

Beda dengan sepak bola terminal yang merupakan ajang kontestasi olah raga para bocah, maka pada pagi yang menjadi leluhur Car Free Day itu, kontestasi yang berlangsung adalah kontestasi tebar pesona abege. Maksud saya adalah, di pagi yang masih transisional itu, rombongan remaja tumpah di jalan raya untuk mencari pertemanan baru. Atau mencari teman yang bukan teman biasa. Singkat kata, untuk yang bermotif terakhir, pagi menjadi hari yang "penuh modus" abege. 

Beberapa abege yang modusnya sudah menemui sasaran tentu berbeda. Mereka akan janjian dan menikmati pagi dengan jalan kaki bersama. Ada yang tentu saja membawa motor tapi zaman itu motor hanya milik mereka yang lemah--haa? Yang problematik adalah gerombolan abege yang isinya para pemodus tanpa pernah ketemu sasaran. Para pemodus yang dari satu Ramadan ke Ramadan berikutnya tak pernah berpisah dari kelompoknya. Ini jenis para pemodus remaja yang mengenaskan namun berusaha tetap bertahan dalam kepercayaan, "Ditolak satu, masih ada seribu--yang kemungkinan besar menolak juga!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun