Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa Tumbang Bulan; Kisah Ketertinggalan Paska Perburuan Kayu

4 Maret 2015   06:12 Diperbarui: 28 Desember 2020   17:20 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak ada lagi pentas artis dan orkes kampung.

Tumbang dalam bahasa Dayak berarti muara sungai. Sementara Bulan merujuk pada nama sungai yang berhimpitan dengan DAS Katingan dan sekaligus merupakan salah satu akses masuk ke Taman Nasional Sebangau. Maka secara harafiah arti Tumbang Bulan adalah muara sungai Bulan. Maksudnya desa yang terletak di muara sungai Bulan.

Tumbang Bulan atau sekarang disebut dengan Muara Bulan tergolong ke dalam kecamatan Mendawai. Dahulunya merupakan anak dusun dari desa Perigi, namun memekarkan diri pada tahun 2005. Barangkali Tumbang Bulan merupakan desa termuda di wilayah Mendawai.

Jika kita bepergian dari Mendawai dengan transportasi perahu ces mau pun klotok, yang terletak lebih ke hilir dari sungai Katingan, kita akan menemukan ‘ibu desanya’, desa Parigi, terlebih dahulu. Sebaliknya jika berangkat dari arah hulu, dari arah ibu kota kecamatan Kamipang, Baun Bango, maka kita akan menemui Tumbang Bulan sesudah dusun Lantungan yang merupakan bagian dari desa Galinggang. Jadi pertemuan antara Galinggang dan Tumbang Bulan adalah pertemuan dua kecamatan.

Desa ini mungkin hanya dihuni oleh 100-an kepala keluarga juga seperti Tampelas, sebuah desa yang terletak di hulu desa Galinggang.

Dari sedikit cerita yang bisa digali dari subyek-subyek yang pernah berhubungan dengan desa ini, sejarah desa Tumbang Bulan mewakili kisah ironi dan mungkin juga petaka sumber daya alam. Persisnya: memiliki jejak sebagai desa yang pernah demikian ramai di saat kayu adalah emas hijau. 

Ketika kayu dieksploitasi, uang mengalir seperti hujan deras. Menghabiskan uang 5 juta rupiah sehari tak ubahnya seperti menghabiskan uang 5 ribu rupiah.

Melalui kesaksian subyek-subyek lokal tadi, baik di desa ini pun Galinggang atau Tampelas, Tumbang Bulan di masa illegal logging masih berkibar jaya, dikenal sebagai salah satu Texas-nya Mendawai. Menyebut Texas, kita mungkin terbayang film-film koboy yang penuh dengan asap rokok, bau minum keras, judi, prostitusi dan tentu saja kekerasan.

Tapi ada satu penjelasan logis yang barangkali bisa menjadi penjelas mengapa desa ini bisa disebut Texas. 

Menurut seorang tua di desa Galinggang, barangkali karena posisinya yang strategis di muara sungai bulan tadi dimana salah satu pusat perburuan kayu – kayu terbaik berada dalam wilayah Taman Nasional Sebangau sekarang. Sehingga glondongan kayu yang dihanyutkan akan keluar ke muara. Karena itu, pemukiman yang berada di muara sungai bisa mendapuk manfaat dari keluarnya kayu-kayu itu. Ia diuntungkan posisinya yang tepat.

Hal lain yang menggambarkan kenapa daerah ini disebut Texas-nya Katingan adalah ia merupakan salah satu pusat judi. Kebetulan yang saya tanyai adalah salah satu operator judinya. Ia bercerita jika dahulu, pra-pelarangan illegal logging, judi yang beredar adalah judi kupon dan ketangkasan. Uang beredar begitu besar, sehari bisa 25-30an juta. Untuk merangsang kemeriahan, di tiap akhir pekan, mereka akan mendatangkan artis. Dengan begitu, para pekerja kayu pun bukan, akan datang ke desa ini.

Ia bahkan berkata, "Dahulu itu, untuk membedakan malam dan siang adalah udaranya." 

Entah apa maksudnya, mungkin udara itu berurusan dengan asap rokok atau bau minuman. Siang dan malam bukan lagi urusan matahari atau bulan. Bedakan saja dari tebal kabut rokok dan kental bau alkohol.

Sebagai anak dusun desa Parigi yang nanti baru mekar menjadi desa pada tahun 2005, keramaian Tumbang Bulan tak cukup sekedar judi. Ia juga menjadi tempat bagi ‘pelepasan stress’. Banyak orang berdatangan dari arah hulu mau pun hilir. Apalagi jika ada artis yang manggung. Ada rumah bilyard. Dan tentu saja ada perkelahian. 

Seorang kawan yang pernah menjadi supir Klotok (perahu besar yang berfungsi sebagai taxi sungai) bercerita jika setiap hari mesti terjadi perkelahian. Selain judi, bilyard, perkelahian adalah salah satu pemandangan umum di Tumbang Bulan.

Juga dari cerita seorang kawan yang pernah menjadi buronan polisi karena perburuan kayu, di tahun-tahun illegal logging atau ‘zaman kayu’, para bos kayu sudah terbiasa mengkonsumsi obat-obatan seperti ekstasi lalu kemudian sabu. Masih tutur teman saya, narkoba yang masuk datang dari Jakarta melalui Banjarmasin dengan menggunakan kapal kayu bisa masuk ke lokasi kafe-karaoke. 

Waktu tempuh dari muara sungai Bulan ke kafe-karaoke itu sekitar 30 menit melalui jalur sungai. Pernah suatu masa di zaman kayu, ibu-ibu dari Tumbang Bulan pergi berdemo kesana karena suami-suami pamit dari rumah untuk pergi bekerja, ternyata malah menghibur diri disini.

Tapi bukan itu saja. Di Tumbang Bulan juga sering diadakan pertandingan bulu tangkis, volleyball dan sepakbola. Dari cerita seorang warga, khusus sepak bola, sering kali menjadi ajang judi para bos kayu. Jika sudah mulai ada pertandingan, orang akan berduyun-duyun ke Tumbang Bulan. 

Ratusan orang tumpah ruah dan menghabiskan berpuluh mungkin ratusan liter bensin, tak ada masalah. Zaman kayu, uang yang pergi segera bisa kembali.

Demikian Tumbang Bulan di masa zaman kejayaan kayu. Ia adalah Texas yang dilahirkan dari uang hasil aktifitas yang kemudian terlarang. Keuntungan dari kayu telah menghidupkan anak dusun ini, menarik orang dari mana-mana, menghasilkan peredaran uang yang besar, dan menjadi magnit bagi kesenangan.

Namun sesudah perburuan kayu dilarang dan dunia hari ini mengamati Kalimantan tengah sebagai proyek percontohan REDD Indonesia, Tumbang Bulan tinggalah kisah ketertinggalan. Desa ini bahkan terisolasi dari sinyal telepon seluler. Di Galinggang dan Tampelas, kita masih bisa menggunakan antena untuk penguat sinyal, di Tumbang Bulan tidak bisa. Agar bisa berkomunikasi kita harus menghabiskan tiga liter bensin dulu karena harus mencari lokasi ramah sinyal yang terletak di bagian hilir dari desa.

Di siang hari, seperti banyaknya desa di tepian DAS Katingan yang ekonominya merosot paska rontoknya zaman kayu, Tumbang Bulan adalah desa yang sepi. Yang diam di kampung kebanyakan orang tua, perempuan dan anak-anak. Pemuda dan pria dewasa yang masih bisa bekerja akan keluar mencari sesuap nasi, entah dengan menangkap ikan, berburu burung, bekerja di pertambangan rakyat atau pergi ke hutan mencari hewan buruan. Hari ini, mencari seratus ribu rupiah untuk sehari saja susahnya setengah mati. 

Keuntungan kayu yang pernah membuat desa ini menjadi Texas-nya DAS Katingan kini tak terlihat lagi jejak kemasyuran ini, selain cerita-cerita warga dan beberapa bangunan yang dulunya menjadi penginapan. Tak ada lagi kupon judi yang diundi, tak ada lagi adu ketangkasan bilyard, tak ada lagi udara yang membedakan siang dan malam.

Tak ada lagi pentas artis dan orkes kampung.

[Katingan, Mei 2014]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun