Kemudian senja tiba, hari perlahan gelap.
Ketika dunia dan penghuninya mulai kelelahan karena kecepatan seolah-olah menjadi etos utama mengada sebagai manusia modern, di Solol, slow living tumbuh dengan caranya yang tanpa terminologi macam-macam. Ada irama yang lambat dan tenang--walau kita juga tahu keadaan sesungguhnya tak selalu baik-baik saja--hingga orang-orang yang terus menjaga hidup bersama.
Maka, bagi saya, Kampung Solol dalam perjumpaan seminggu adalah warisan kebudayaan pesisir yang wajar untuk selalu dirindukan. Ia selalu tersimpan dalam kenangan dari banyak peristiwa yang mudah terlupakan.
Masih dalam kaitan di atas, tempat ini terus terasa eksotis. Sebagai masa lalu yang indah, kearifan yang bertahan, tidak selalu ada di semua tempat, dan terus hidup hingga hari ini.
Celakanya, eksotika semacam ini, selalu dalam keterancaman oleh ambisi pembangunan yang pada ujungnya juga hanya membuat makin makmur segelintir manusia. Bahkan ketika warga dunia bersatu padu melindunginya (dalam tagar #SaveRajaAmpat, misalnya), negara dan pembangunan masih saja keras kepala. Seolah-olah keduanya paling berhak dan paling tahu yang terbaik bagi masa depan lingkungan dan masyarakatnya.
Kita tidak bisa lagi melihat ekonomi, lingkungan, dan hak hidup masyarakat adat berada dalam kompartemen yang saling mengunci. Semuanya hanya mengada dan mungkin mengada dengan cara bersama-sama. Itulah mengapa, tagar #SaveRajaAmpat semestinya tidak dipandang sebelah mata.
Dari hidup sebentar di Kampung Solol, saya tahu itu adalah hari-hari bermakna yang selalu penting untuk dikenang. Dan, jika negara terus saja "putar bale" cuci tangan, kita tahu mengapa orang-orang terus melawan.
Saat yang sama, kita makin percaya, pemilu tidak membawa kita beranjak jauh dari kekuasaan yang eksploitatif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI