Semangkuk mi ayam yang enak di bawah sisa-sisa gerimis. Ketika senja sudah tenggelam, lampu kendaraan bersilangan di jalanan.
Pada mulanya, ini seperti menuntaskan penantian. Seminggu yang lalu, dua deadline berkejaran di kepala, bahkan berani menyelinap hingga ke bawah bantal. Saya merasa tertidur dengan mata yang berjaga--seperti di dalam puisi Octavio Paz.
Kemudian Sabtu tiba, ada sedikit jeda. Tubuh mi yang lembut, urat-urat bakso yang lunak, kriuk kulit pangsit terbayang-bayang di kepala. Semua ini seolah-olah penyambutan yang sempurna kepada weekend, walau sederhana belaka.
Kesederhanaan yang sebenarnya kompleks. Sebab, dalam pengalaman saya, "penyambutan weekend" seperti ini menyatukan orang-orang kecil yang bekerja di pinggir megapolitan seraksasa Jakarta kedalam semesta kesenangan yang khas. Orang-orang dari garis ini ditantang menciptakan produksi kesenangan yang bakal selalu terikat pada, salah satunya, sebaran kuliner yang ditumbuhkan oleh pedagang kaki lima.
Para ekonom akan bilang ini pertemuan antara daya beli, konsumsi dan sumbangan informalitas bagi pertumbuhan. Dari arah yang lain, para pengkaji urban culture, akan bilang ini sebagai ruang produksi makna kolektif yang ditumbuhkan dari perjumpaan bermacam-macam kehendak untuk survive di tengah disiplin sosial ala kapitalisme, misalnya. Ini tidak lantas berarti kalangan upper class tidak terlibat dalam proses ini, kita hanya tidak membahasnya saja.
Selain saya memang hanya ingin berkisah sesuatu yang juga jauh dari pikiran ekonom, antroplog atau semacam. Ini lebih mirip semacam ziarah ingatan belaka.
Perihal Semangkuk Mi Ayam...(dan Film Bisu Tanpa Skrip)
Di depan kekayaan mi ayam yang tercermin dengan bermacam-macam versi atau modifikasinya, preferensi saya sebenarnya tergolong dangkal.
Sebab itu, jika sudah bertemu yang membuat lidah gregetan, dipastikan langkah kaki akan selalu kembali ke sini. Seolah-olah tubuh tanpa jiwa yang digerakkan oleh panggilan mantra.
Begitulah dengan mi ayam yang satu ini. Dia diracik oleh seorang ibu dan dua orang bapak, mungkin mereka kakak beradik. Dengan gerobak, menumpang di halaman parkir sebuah ruko kecil.