Di musim yang kusut—tak cukup penjelasan, tak kuat pergulatan,
terlalu sakti kesedihan—ke mana anak-anak muda pergi?
Seorang muda tertidur di antara
dua lampu jingga,
memeluk gitar warisan bapaknya
yang terlelap lebih panjang
dari yang bisa ia kenangkan.
Ke kota, ia mencari bapaknya.
Atau alasan-alasan mengapa
Ibunya tidak ingin berbicara
tentang hidup bermartabat.
Bapaknya pergi di waktu yang terlalu muda
kemiskinan dan rayuan kota,
yang bahenol dan berbahaya
menghisapnya dengan membara.
Bapak hanyalah pertemuan batu es dan air mendidih:
Kelihatan dingin, tapi terus menerus gagal menunda ingin.
Seketika lesap dan berantakan,
sirna ke dalam kekacauan.
Bapak kehilangan terlalu banyak yang mengagungkannya
sebagai laki-laki: tanah, tani, dan jati diri.
Tetapi di kota, ia tidak menemukan siapa-siapa.
Kota—yang menjadikan tanah tidak berjiwa—
sudah lama tidak memiliki manusia,
tidak mencintai siapa-siapa.
Di lampu jingga ketiga, si pemuda
berusaha melihat cakrawala.
Tapi yang ada hanya mata ibunya,
Di sepanjang udara yang pucat.
Aku ingin pulang—
Sementara ibu baru saja pergi,
Bapak tidak pernah kembali.
Kaki Klabat/Ujung September
Â