Tentu saja pengharapan 32 tahun adalah masa yang tidak sebentar.
Di durasi yang sama, negeri ini pernah punya presiden yang lahir dari rahim militer. Kemudian memilih jalan developmentalisme di tengah pertikaian perang dingin; memilih jalan sejarah yang lebih condong pada kemunculan negara otoriter birokratis. Lantas datang huru-hara, kekerasan terhadap warga sipil dan rezimnya tumbang. Persis di bulan Mei.
32 tahun juga bukan waktu yang ringkas untuk federasi sepakbola dengan segala macam campur tangan kekuasaan politik dan ekonomi. Sederet proyek pengembangan timnas dengan sistem cangkok, semisal Primavera dan Baretti (1993/1994). Atau dua tahun sesudah emas Sea Games 1991 yang ternyata membutuhkan tiga dekade untuk bisa meraihnya lagi.Â
Penantian yang panjang, kebanggaan yang pasang surut hingga rasa sakit yang dalam telah menyertai perasaan para fans di seluruh Tanah Air. Bahkan ketika negeri-negeri tetangga, semisal Thailand dan Vietnam berkembang pesat, timnas seperti jalan di tempat. Seolah-olah sejarah hanya berisi romantika belaka, dengan nama-nama yang sudah lama tiada.
Rasa sakit menanti itu bisa jadi lebih menyiksa dari pada yang dimiliki fans Napoli. Mereka hanya bisa juara ketika seorang dewa bernama Maradona bermain untuk mereka di tahun 1997. Lantas juara lagi untuk musim 2023 dengan konsistensi yang sedikit melorot saat menjelang akhir.
Rasa sakit akan penantian dan sederet kegagalan itu mungkin boleh sepadan dengan yang dimiliki para pemuja Argentina. Mereka baru bisa kembali ke puncak juara dunia sesudah 36 tahun. Padahal negeri ini selalu punya generasi dengan bakat-bakat cemerlang sejak era Omar Sivori (1935-2005). Bahkan sebelum era Messi, dkk, mereka memiliki Batistuta, Ortega, Riquelme, Veron hingga Redondo namun tanpa gelar juara dunia.
Indonesia sebagai penyandang negeri-negeri poskolonial juga selalu memiliki bakat-bakat cemerlang dalam sepakbola.Â
Mereka tersebar dimana-mana, dari Timur ke Barat, dari Miangas sampai ke Pulau Rote. Mereka berkembang dari jenis sepakbola tarkam hingga sepak bola dalam sistem sekolah. Tidak sedikit dari mereka yang bertahan hingga pensiun namun banyak juga yang sebentar saja beredar di inti orbit nasional, lantas menepi dan menjadi ASN, misalnya.Â
Tapi, untuk emas di level Sea Games saja, negeri ini sungguh merana, tak cuma semenjana.Â
Sementara itu, Thailand lalu disusul Vietnam bukan saja penegas dominasi di Asia Tenggara. Dua negeri ini telah merangsek kawasan Asia, beradu level dengan raksasa-raksasa dari Peradaban Kuning maupun Peradaban Gurun.