Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Membaca Warisan Jepang Sebelum Pulang

6 Desember 2022   10:27 Diperbarui: 6 Desember 2022   11:14 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Hajime Moriyasu membungkuk usai Jepang kalah lewat adu penalti melawan Kroasia di babak 16 besar (AFP/ANNE-CHRISTINE POUJOULA via Kompas.com)

Selain King Kazu, teringatlah kita pada sosok Hidetoshi Nakata. Nakata datang ke Italia dan bergabung dengan Perugia, klub spesialis pejuang degradasi sesudah piala dunia 1998. Saat partai pembuka, Perugia melawan Juventus dengan Del Piero, Zidane, dan Pipo Inzaghi yang masih segar-segarnya. Termasuk Deschamps yang sekarang melatih Perancis.

Perugia akhirnya kalah tapi Nakata menciptakan brace. Nakata berhasil juara Serie A bersama AS Roma di tahun 2001, dimana dia bermain bersama Totti dan Batistuta. Nakata menghabiskan 7 musim di Italia dan menjadi salah satu yang dpilih Pele dalam daftar 100 pemain top FIFA di tahun 2004. Bersama tim nasional, Nakata sudah bermain di tiga edisi piala dunia yaitu 1998, 2002, dan 2006.  

Sesudah era-Nakata, Jepang tidak berhenti mengirim bakat-bakatnya bermain di liga Eropa. Mereka menyebar di Jerman, Inggris, Spanyol, Italia hingga Skotlandia dan Perancis. Di Qatar kali ini, para pemain dari liga Jerman, Inggris, Spanyol hingga Skotlandia dipanggil. Setidaknya mereka bermain 12 klub berbeda di liga Eropa.

Kejutan Qatar 2022
Jepang memang bukan satu-satunya Asia yang membuat kejutan. Tapi jika melihat kerasnya persaingan di level grup, keberhasilan Jepang menjadi juara grup dengan mengalahkan Jerman dan Spanyol adalah kejutan terbaik dari wakil Asia. 

Lebih menarik lagi, ketika menekuk raksasa berwujud Jerman dan Spanyol, mereka melakukannya melalui aksi pembalasan. Kebobolan lebih dulu tidak menjadikan mental mereka inferior lantas kehilangan bentuknya. 

Hajime Moriyasu juga membuat Jepang tetap bermain sebagaimana ciri yang dikenal selama ini, bermain operan pendek dan pergerakan yang cepat, terutama dalam mengeksekusi counter-attack. Seolah-olah samurai itu sendiri: fokus, lincah, mematikan.

Jepang telah menunjukan bagaimana bermain dengan identitas yang dipertahankan bertahun-tahun. Kejeliaan Jepang adalah mengeksploitasi "titik achilles" yang menganga di Jerman dan Spanyol. Dua juara Eropa ini keasikan menampilkan dominasi dengan transisi bertahan yang buruk. 

Berbeda dengan Luka Modric, dkk. Semifinalis 2018 ini selalu bermain tanpa peragaan penguasaan bola yang selalu unggul. Demikian halnya saat melawan Jepang, ball possession-nya relatif imbang. 

Mengutip Whoscored, Kroasia cuma unggul tipis dalam jumlah total operan sebanyak 725 kali dengan operan akurat sebanyak 608 kali berbanding 394 kali milik Jepang. Keduanya juga imbang dalam mengoleksi shots on goal.

Dalam permainan sepakbola yang seimbang hingga perpanjangan waktu berakhir, mentalitas adalah kuncinya. 

Mentalitas menghadapi adu penalti sepertinya belum cukup dimiliki para pemain Samurai Biru. Statistik sepanjang laga tidak lagi bisa dijadikan acuan. Jepang akhirnya balik kanan dengan kepala yang tegak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun