***
Anya ingin mengatakan sudah cukup! tapi ia tahu suaranya hanya akan tiba sebagai gema. Anya harus tetap ada di sana--sudah terlanjur ada di sana. Berlari dan berlari. Cuma ada mengejar-dikejar.Â
Anya dan hampir semua yang tumbuh bersamanya tidak pernah belajar tahu.Â
Jika menjadi generasi yang berdiri di pundak angkatan sebelumnya, lantas memandang jauh kedepan sana. Lalu menemukan di bawah cakrawala yang berwarna-warni, jalan menuju seragam yang telusuri selama ini hanya membawa langkah kepada masa depan yang saling memangsa.Â
Masa yang celaka. Tidak cukup tersedia pilihan. Tidak cukup kemungkinan bagi kenang-kenangan.
Namun hari itu Anya terlalu lelah. Ia bahkan mesti bertengkar dengan semua suara dari masa depan. Demi bersetuju batas-batas apa saja yang kemudian disepakati sebagai kelelahan itu.Â
Anya terus kabur ke sebuah bangku.Â
Di sebuah pojok, di sebuah kafe, di antara generasinya sendiri yang membutuhkan memeluk  aku-yang-lelah-namun-tak-boleh-menyerah. Di antara jeda yang dicuri-curi, ia membiarkan dirinya musnah di lembar sebaris puisi.
SONETA DUA DENTANG*
Dua dentang pukul
pada tiang listrik
adalah dua keluh
dalam kekal
Doa, dini hari,
dan waktu yang tak mati
mungkin tersembunyi
di angka kelam dan besi tua
Ini. Atau barangkali ia tak ada;
hanya jejak yang rawan
pada jam,