Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cerita Bangku pada Sebuah Pantat yang Lelah

21 Januari 2022   07:15 Diperbarui: 21 Januari 2022   07:53 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangku Kayu dan Sebuah Buku| Dok.pribadi

Waktu dan manusia telah menyiapkan dirinya kepada cerita-cerita yang ditulis dari pinggir sepi. Sesudah ia dicerabut paksa dari hutan yang terus menyusut dan musnah. 

Maka ia harus berdiam di sebuah pojok. Pada sebuah kafe. Di sebuah sudut dari keramaian kecil anak-anak muda yang dikirim dari rupa-rupa pengharapan. Anak-anak muda ini sering datang kepadanya lalu ingin berdiam. 

Beberapa lebih suka menatap lama-lama dengan gawainya, lalu menggembus nafas berat. Beberapa yang lain mengeluh namun suaranya dicekik tenggorokan. Mereka yang datang kepadanya selalu ingin dipeluk aku-yang-lelah-namun-tak-boleh-menyerah dan sepi. 

Sebab gen muda adalah tulang sumsum bangsa dengan pikiran tua, mandek dan sakit-sakitan! 

Ia sering meyakini dirinya, bahwasanya nasibnya hanya merangkul mereka yang berwatak penakluk terhadap dunia di luar sana: mereka yang telah berlari dan akan berlari lagi. Mereka yang tidak ingin berhenti. Mereka yang selalu merasa mengejar-dikejar adalah takdir.

Setidak-tidaknya itu lebih baik. Ketimbang dijadikan sebangsa pentungan yang digunakan memukul anjing atau kucing atau anak manusia yang bengal. 

Ia tak tahu darimana harus memahami mengapa yang serumpun dengan dirinya mesti dijadikan alat untuk menegakan kepatuhan, ketakutan hingga kekerasan dan kebesaran yang palsu? Tidak di pasar, tidak di jalanan, tidak di sekolah, tidak di tahanan. Tidak dimana-mana. 

Karena itu ia ingin selalu pantas bersyukur menjadi sebuah bangku. Walau tubuhnya makin rapuh, ikatannya makin longgar dengan paku-paku yang duluan melepaskan dirinya. Biasa saja, ia toh akan bertumpuk sebagai rongsokan. 

Teronggok sia-sia dijilati hujan dan panas. Sebelum tiba di TPA, lapuk dan kembali ke tanah. Ia telah terlatih disepelekan. Bahkan sejak masih hidup tenang sebagai hutan. 

Tapi, itu mungkin bertahun-tahun sebelum kemarin. Sebelum paku terakhir itu membiarkannya bertahan sendiri di bawah sebuah pantat. Yang marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun